Minggu, 12 Februari 2012

Transformasi Petani Menjadi Buruh IndustriPerkebunan:

Studi Karesidenan Pekalongan 1830-1870

Sejarah perkebunan di Hindia Belanda berkaitan erat
dengan sejarah terbentuknya lapisan sosial buruh di
dalam masyarakat. Masyarakat petani, yang seringkali
dikaitkan dengan ikatan sosial "tradisional" yang
non-ekonomis ("gotong-royong"), dengan berkembangnya
industri perkebunan, mereka ditransformasi ke hubungan
yang murni ekonomi. Secara kongkret, gejala ini
terlihat dari terkikisnya ikatan pertuanan
(patron-clientage) yang digantikan oleh hubungan
buruh-majikan.

Faktor penentu bagi keberhasilan industri perkebunan
di Hindia Belanda adalah tersedianya tanah dan tenaga
kerja yang memadai. Pengabaian pada salah satu faktor
tersebut bisa menjadi malapetaka yang meruntuhkan
kelangsungan industri perkebunan ini. Kasus seperti
ini pernah terjadi di pabrik-pabrik gula moderen--di
Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat--yang mengandalkan mesin
uap dengan sistem pengairan kebun menggunakan
kincir-kincir air, terpaksa bangkrut di akhir
1820-an,
disebabkan kekurangan tenaga kerja.1)

Ketika onderneming gula mulai dioperasikan di bawah
pengayoman cultuurstelsel di awal 1830, terjadi
pergeseran area perkebunan dari wilayah "tanpa"
penduduk ke wilayah padat penduduk. Pilihan jatuh ke
karesidenan-karesidenan di pesisir Utara Jawa meliputi
Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Surabaya
dan Pasuruan (Oosthoek).2) Alasannya,
karesidenan-karesidenan ini telah berpenduduk lebih
padat. Juga, disebabkan telah tersedianya jalan Raya
Daendels (Anyer-Panarukan) yang sangat bermanfaat bagi
kelancaran transportasi. Dan di wilayah-wilayah
tersebut telah tersebua sawah-sawah siap pakai, yang
besar artinya bagi pembudidayaan tanaman tebu.

Industri gula menjadi gejala penting untuk melihat
transformasi mendasar petani berubah menjadi buruh.
Prosesnya didorong melalui berbagai hubungan kerja
pabrik yang "rasional". Industri gula mengintensifkan
berbagai hubungan kerja pabrik, hal yang
sebelumnya--dalam perkebunan kopi Priangan yang besar
selama kejayaan VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie)--tidak terjadi.

Dalam tulisan ini akan dilihat dinamika pergeseran
karakter petani menjadi buruh di salah satu
karesidenan pesisir Utara Jawa--Karesidenan Pekalongan
yang dalam abad XIX mencakup Kabupaten Pekalongan dan
Batang, meliputi tiga pabrik gula Sragie, Kalimatie
dan Wonopringo. Ketiga pabrik ini memakai lahan sawah
untuk tebu seluas sekitar 1500 bau.3)

Rancangan Penyerapan Tenaga Kerja

Dalam pertengahan tahun 1830, pemerintah kolonial
(gubermen) mulai melakukan aktivitas merekrut tenaga
kerja. Secara resmi petani diserap melalui kontrak
kerja (suiker-contract). Untuk membantu perekrutan
ini, Lurah (kepala desa) sangat besar perannya sebagai
mediasi antara gubermen dengan kaum tani yang akan
dijadikan buruh. Seperti, Lurah yang melakukan
pembagian tanah gogol (komunal); Lurah pula yang
mengadakan pengaturan kerja di onderneming gula.
Rumusan kontrak-kontrak gula tersebut seringkali
dibuat tidak jelas kapan batas berakhirnya:


Kontract iki bakal kanggo setaun, atawa saingga kongsi
rolas taun, apa kersane kandjeng gupernemen.4)



Meliputi kerja:


Sakabehe pegaweyan ing dalem panggilingan sarta ing
dalem kebon atawa nebang tebu, amek kaju bakar, iku
uwong-uwong amesthi anglakoni pegaweyan iku.5)



Kerja-kerja inilah yang disebut cultuurdienst (kerja
penanaman tanaman ekspor).

Rancangan untuk menyerap tenaga kerja tampaknya tidak
benar-benar berhasil memaksa petani untuk mematuhinya.
Beratus-ratus buruh yang telah menandatangani kontrak,
hampir selalu mengingkarinya. Barak-barak kuli6) di
lingkungan onderneming, banyak yang ditinggalkan.
Akibatnya terjadi kegagalan panen-panen tebu selama
1830-1840 akibat kekurangan tenaga perawat tanaman.7)

Tekanan atas berkurangnya buruh sangat dirasakan
memuncak tahun 1836, ketika Residen Pekalongan,
Praetorius, mengatakan dalam suratnya bertanggal 12
September,


Kita dapat rapport derri toean Wiggers [kontrolir di
Batang], hal derri pekredjaan for sedia tannah atau
for tanem teboe terlabe achir -- lagie kaloe Toean
Controleur ada pegie lantas ada koerang orang njang
bekredja dan koerang karbouw.



Sehingga residen meminta bupati Kabupaten Batang, Ario
Djaijeng Ronno, agar bersedia turun tangan
mempergunakan pengaruhnya menarik petani untuk bekerja
kembali dalam onderneming gula:


Kita menjataken pada Tommongong [tumenggung] njang
derri hal orang njang bekredja tannem taboe atauw
sedia tannah darri perkarra ietoe tieda boleh korang
darie limaratoes satoe harie, die dalem sepoeloe harie
inie -- mangka kita kasie prenta pada Tommongong
mestie djaga kendirie njang ada limaratoes orang saben
harie en soepaija pagie pagie ietoe orang ada die sawa
njang di kerdja for tanem teboe -- kita soeka
Tommongong poekoel anem pagie datang dan kliling die
tampat sietoe kaloe orang ketjiel tahoe Regent ada,
temptoe die takoet tienggal die roemah.8)



Untuk pertama kali residen menginstruksi bupati agar
turun langsung menangani masalah buruh bagi
onderneming gula. Meskipun pada akhirnya, di penutup
bulan Oktober 1836, Ronno –dengan berat hati –
bersedia melakukan kerja mandor,9) mengawasi buruh di
kebun-kebun tebu. Hasil menggunakan pengaruh bupati,
tampaknya, tidak mengecewakan. Demang Batang
melaporkan, dengan munculnya bupati di onderneming,
303 buruh penandatangan kontrak menepati janjinya, dan
juga, berhasil menyerap buruh-buruh bukan kontrak
sebanyak 574 orang (sebagian besar adalah buruh usia
muda, sekitar 12 tahun, buruh anak-anak, bekerja
membantu orang-tuanya.10) Mereka mengerjakan
kebun-kebun tebu pada pagi hari sejak pukul 6.00
hingga pukul 10.00, dan sore hari dari pukul 16.00
hingga 18.00.

Gejala tenaga kerja membanjiri pabrik-pabrik gula di
Pekalongan terjadi menjelang paruh kedua abad XIX.
Jumlah seluruh buruh (di tiga pabrik) yang pada tahun
1845 hanya 5.444 orang, melonjak menjadi lebih dari
10.000 buruh, dengan perhitungan sebagai berikut:
Wonopringo: 4.257 buruh, Sragie: 3.854 buruh, dan
Kalimatie: 2.798 buruh.11) Padahal, batas "ideal" yang
ditetapkan gubermen, jumlah buruh untuk masing-masing
pabrik adalah 2.440 orang yang terbagi untuk penanam
tebu 1.600 orang, penebang 320 orang, transportasi 280
orang, pencari kayu 40 orang dan kuli dalam pabrik 200
orang.12) Penyebab melimpahnya tenaga kerja, tampaknya
terkait erat dengan dihapuskannya industri nila.
Industri nila baik milik pemerintah maupun milik
keluarga bupati mulai dibubarkan dalam tahun 1848.

Sementara kalau ditengok pada sisi lain, tampaknya,
perekonomian desa sudah tidak dapat menampung warga
atau bekas warganya yang dihentikan atau "PHK"
pabrik-pabrik nila, untuk kembali ke pekerjaan semula
menjadi petani. Sehingga menjadi wajar jika petani
kini memburu pekerjaan ke pabrik-pabrik gula.

Pelapisan Sosial Di Desa

Suatu gejala yang janggal jika melihat bekas buruh
tidak mau kembali menjadi petani ketika di-PHK,
melainkan lebih memilih mencari pekerjaan di
pabrik-pabrik gula. Hal ini perlu disadari mengingat
jumlah tanah kala itu masih berlimpah. Mengapa mereka
tidak berminat menjadi petani kembali?

Perbedaan tajam antara petani bertanah dengan yang
tidak bertanah telah ada sebelum hadirnya kolonialisme
di Jawa. Perbedaan ini, tampaknya, tidak terhapus
dengan reformasi tanah yang dilakukan selama
cultuurstelsel. Pembahasan berikut ini, akan
dipusatkan pada pelapisan sosial yang terdapat di
pedesaan Karesidenan Pekalongan, dengan mengutamakan
desa-desa yang berada dalam lingkungan perkebunan
tebu. Desa-desa ini mendapat prioritas untuk
diperhatikan, sebab selain jumlahnya meliputi lebih
dari seratus desa, (sebagaimana tercakup dalam
penelitian Commissie yang dipimpin G. Umbgrove),13)
desa-desa ini juga langsung terlibat dengan perkebunan
gula. Dari laporan penelitian Commissie ini dapat
dilihat bagaimana desa menyiapkan tenaga kerja bagi
industri gula.

Suatu pranata Jawa lama tentang bagaimana mendapatkan
dan mendistribusikan produksi agrikultur pertanian
telah ada di dalam masyarakat pedesaan jauh sebelum
kolonialisme menancapkan kukunya di bumi
Hindia-Belanda. Kesatuan masyarakat terbagi-bagi dalam
keluarga-keluarga yang disebut cacah (kesatuan
masyarakat terkecil dikepalai seorang sikep). Setiap
kesatuan cacah biasanya mendapat hak untuk mengolah
sebidang tanah. Besar atau kecilnya lahan sawah dalam
kesatuan keluarga tersebut, tergantung dari banyak
atau sedikitnya jumlah cacah. Keluarga menjadi suatu
unit produksi. Sedang distribusi produksi, selain
dikonsumsi dalam keluarga, sebagian dari surplus
agrikultur diserahkan dalam natura sebagai upeti untuk
lapisan elitnya (untuk lapisan atas desa).14)

Menurut Van den Bosch, kesatuan-kesatuan masyarakat
yang dikenal sebagai cacah, menjadi unit pengolahan
suatu produk agrikultur petani. Dalam cacah terdapat
seorang kepala yang disebut sikep (petani-kaya). Beban
kerja, dikenakan kepada sikep, sebab sikep menguasai
tanah. Sedang kerja pengolahan pertanian biasanya
dibebankan oleh otoritas (negara) lama, dengan cara
mengalokasikan sebidang tanah untuk diolah. Seorang
sikep, sebagai kepala cacah, maksimal bisa menguasai
22 cacah.15) Sehingga para cacah tidak bertanah, lebih
merupakan tenaga kerja yang bekerja untuk dan kepada
sikep.16)

Gejala di atas, merupakan gejala umum di seluruh Jawa,
termasuk di Karesidenan Pekalongan. Hanya, berdasarkan
perkembangan masyarakat sudah tentu terjadi
penjelimetan setempat. Seperti ditemui oleh Commissie
Umbgrove selama penelitiannya dalam pertengahan abad
XIX, yang secara garis besar dalam tulisan ini
disederhanakan, menjadi empat lapisan masyarakat.

Pertama, apa yang dikenal sebagai dessa bestuur
(pemerintah desa) terdiri dari: lurah, bahoe, lebe,
kabayan dan kamitua. Mereka adalah golongan pendiri
desa, yang dikepalai oleh lurah. Lapisan ini mendapat
keistimewaan dalam penguasaan tanah:


"welk aandeel … altijd minstens twee maal zoo veel
moet bedragen als dat van sikep."17)

(bagian mana … paling sedikit harus selalu dua kali
lebih banyak dari jumlah untuk seorang sikep).



Tanah-tanah ini biasanya disebut bebau atau bengkok
(tanah jabatan), yang didapat selama mereka menduduki
jabatan-jabatan tersebut. Pada beberapa desa dalam
distrik-distrik Batang dan Masin, peranan lurah
dipegang oleh wedana, dengan menggunakan pengaruhnya
sebagai penatoes.18) Karena lapisan pemerintah desa
ini menjadi andalan bagi perekrutan tenaga kerja dan
tanah yang dipakai oleh perkebunan-perkebunan
gubernemen; maka hak-hak istimewa banyak dinikmati
oleh lapisan ini. Seperti, tanah yang dikuasainya
terbebas dari cultuurdienst:


Tot diensten bezorgd al degene, die sawa’s bezitten, …
met uitzondering van het dessa bestuur waaronder
begrepen zijn de loerah, bahoe, kabaijan en
kamitoewa’s. Tot de tweeden behooren zodanige
personen, die eenig ambacht uitoefenen, af voor andere
Industrie aan den kortkomen … en hebben geen aandeel
in de bebouwing der sawa’s, waarom hij ook niet in de
kultuurdiensten deelen.19)

(Mereka yang menyebabkan seluruh kerja, pemilikan
sawah tersebut, … dengan mengecualikan yang dikuasai
pemerintah desa lurah, bahoe, kabayan, dan kamitua.
Orang-orang semacam itu termasuk dinomor duakan,
semata-mata menggunakan pengaruhnya, antara lain
industri kehilangan hak-nya … dan tidak berperan dalam
penggarapan sawah, sebab dia juga tidak kebagian
cultuurdienst).



Sudah barang tentu tanah yang dikuasai lapisan sosial
ini merupakan kualitas terbaik. Para pamong tersebut
berhak mempekerjakan penduduk desanya untuk mengolah
tanah-tanah bengkok "milik"-nya. Kewajiban kerja untuk
mengolah tanah bengkok ini disebut kriegandienst.
Seluruh hasil natura yang didapat dari tanah bengkok
ini menjadi hak si penguasa tanah.

Namun perkembangan industri gula yang banyak menyerap
tenaga kerja, mendorong gubermen untuk mengurangi
kerja-kerja bagi kaum elit desa ini.20) Meskipun ada
pembatasan atau pengurangan kerja bagi kaum elit desa,
hal ini tidak berarti mematikan tanah-tanah bengkok
tersebut dari sumbangan riil kepada para pemiliknya.
Dengan terserapnya populasi setempat ke dalam
onderneming-onderneming gula, masih ada cara lain
untuk mendapatkan sejumlah uang dari tanah tersebut,
yaitu dengan menyewakannya. Seperti, dinyatakan
Residen Pekalongan dalam tahun 1863:


"zoo diende kunnen zij zich verrijken door den verhuur
dier velden aan andere dessa’s, die meer bevolking
bezitten."21)

(Dengan begitu dia [lurah] dapat memperkaya diri
melalui penyewaan lahan mahalnya kepada desa lain,
memperluas pemilikan oleh rakyat).



Dengan demikian lapisan ini masih bisa memperoleh
pendapatan tunai dari tanah bengkoknya, biarpun
kehilangan sebagian hak-haknya atas jasa kerja
(dienstpligtigen).

Bagaimanapun juga, dalam terminologi petani, lapisan
elit desa ini, yang berhak dan bisa menggarap tanahnya
sendiri, dapat disebut sebagai sikep (petani-kaya).
Mereka bisa mempekerjakan orang lain untuk menggarap
tanahnya.

Sedangkan yang disebut sebagai sikep, menduduki
peringkat kedua setelah dessa bestuur dalam pelapisan
sosial di desa. Sikep biasanya mengacu kepada kepala
rumah tangga (suami)22) yang menguasai sebidang sawah.
Beberapa sikep dianggap sangat mampu sehingga sanggup
menghidupi dan menampung pengangguran (angoeran).
Angoeran umumnya masih mempunyai hubungan keluarga
dengan sikep, namun bukan anak dari sikep.

Dalam rumah tangga sikep, akan ditemui lapisan sosial
laiinya, yakni bujang dan menumpang. Menumpang atau
disebut juga mondok, tinggak bersama dan bekerja pada
sikep namun tidak punya hak tanah. Lapisan sosial
inilah yang biasanya disodorkan ke onderneming sebagai
tenaga kerja yang disumbangkan desa untuk melakukan
kerja wajib. Untuk sekedar "mematuhi" peraturan bahwa
kerja wajib dirancang untuk mereka yang menguasai
tanah, maka biasanya desa-desa melakukan pembagian
periodik tanah untuk diolah-gilirkan. Sifat penguasaan
tanah olah-gilir ini temporer. Prioritas mengolah
tanah olah-gilir ini diberikan kepada menumpang. Para
menumpang yang mempunyai hak sementara atas tanah ini
disebut gogol (menguasai tanah komunal). Lapisan yang
kurang lebih sederajat dengan menumpang adalah bujang,
juga tinggal dalam rumah tangga sikep, namun lebih
mendekati pengertian buruh. Sebab, bujang bekerja
semata-mata untuk mendapat upah (dalam bentuk upah
tunai atau hasil bumi).

Lapisan sosial yang terakhir adalah wong boeroeh atau
koeli, yang bekerja semata-mata untuk upah tunai
(dag-looner). Mereka biasanya datang dari desa-desa di
luar desa-desa di lingkungan onderneming. Mereka
menawarkan diri untuk bekerja pada sikep; atau bekerja
di onderneming-onderneming gula. Pabrik gula sangat
banyak menyerap lapisan sosial ini pada musim giling
melalui suiker-campagne (kampanye merekrut tenaga
kerja oleh pabrik gula). Jumlah wong boeroeh dalam
musim panen dan giling gula dapat lebih dari limaratus
orang, memenuhi desa-desa di lingkungan onderneming.

Sebetulnya masih ada segelintir orang, tetapi kurang
signifikant untuk dimasukkan dalam bagan di atas,
yaitu lapisan masyarakat yang berusaha melestarikan
lembaga bagi-hasil,23) mereka disebut wong meratjang.
Biasanya mereka datang dari luar desa, persentasenya
amat kecil. Wong meratjang merupakan lapisan
tani-menengah yang mulai langka untuk ditemukan.
Kelangkaan pelestarian hubungan kerja bagi-hasil
disebabkan, para petani kaya (lapisan dessa bestuur
maupun grootste-sikep) lebih suka mengolah tanahnya
dalam lalu lintas uang. Sehingga para wong meratjang
yang akan bekerja harus membayar uang sromo bila ingin
mengolah tanah milik tani-kaya.

Wajib Kerja

Gubernur Jenderal Van den Bosch, di awal 1830-an,
mengatakan:


"… dar de Javaan geen denkbeeld bezit van het regt van
eigendom op den grond."24)

(bahwa orang Jawa dianggap tidak mempunyai hak atas
pemilikan tanah).



Suatu sikap yang berusaha menegaskan pemilikan tanah
negara (souverein bezit), sebagai pranata bumiputera,
yang untuk mengolahnya dipakai ikatan-ikatan adat.
Pengalokasian sebidang tanah kepada satu keluarga,
berarti pembebanan dari negara (tradisional) kepada
petani untuk menuntut sebagian dari hasil tanah
tersebut bagi kepentingan para penguasa bumiputera
(raja, bupati).

Memang, di desa-desa terdapat distribusi periodik atas
tanah, dan juga surplus agrikultur sebagian dialirkan
ke bupati atau raja dalam bentuk-bentuk upeti. Gejala
inilah yang tampaknya diberi warna baru sebagai cara
untuk menerapkan suatu sistem yang mengandalkan
jalur-jalur lama, ikatan-ikatan menghamba yang ada
dalam masyarakat bumiputera.25) Van den Bosch sendiri
tidak pernah menjelaskan bagaimana mendistribusikan
tanah di dalam desa. Khususnya tentang bagaimana
menerapkan perlakuan yang cukup adil dalam
mendistribusikan tanah dan tenaga kerja terhadap
pelapisan sosial yang telah ada. Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah sejauh mana cultuurstelsel
telah memberikan fasilitas yang sama terhadap para
petani yang menjadi buruh onderneming melalui
reformasi tanah yang dilakukan?

Berdasarkan laporan Commissie Umbgrove tampak bahwa
wajib kerja onderneming tidak harus dilandaskan pada
penguasaan tanah. Sehingga sikep hampir selalu
terhindar dari menyumbangkan tenaganya.26) Dengan
demikian tampak bahwa lapisan tani gurem menjadi
potensial ditransformasikan menjadi lapisan sosial
baru, lapisan sosial buruh.

Jika disimak isi kontrak-kontrak kerja antara tahun
1830 sampai 1833 memang ada kesan petani akan
"sejahtera" jika bersedia bekerja di onderneming:


Marang uwong-uwong ingkang nandur sebau, ukure
lamangatus tjengkal pesagi, iku bakal diwenehi sawah
rong bau, ora lawan ambayar padjege. Ana dene regane
sawah rong bau kuwe, rongpulung rupiah, 20 uwang
tembaga. Iki panggonan kang bakal ditanduri tebu, iku
ora bajar padjege, sarta maniing dheweke
kaperdikakake, saking bajaran uwang kuli gladhag,
sarta lija-lijane pagawejan sedjabane dhistrike.27)



Untuk kepraktisan menciptakan buruh bagi onderneming,
setiap desa yang terkena beban kerja-wajib
cultuurstelsel membagikan tanah dalam bentuk
penguasaan tanah temporer (tijdelij grondbezit). Desa
dianggap dapat mengusahakan kebutuhan tanahnya
sendiri, untuk menciptakan tenaga kerja bagi gubermen:


(a) That land-tenure in the village was essentially
determined by the so-called Dorpsbeschikingsrecht (or
vilage right of disposal).

this finds expression … in the village community
having a certain amount of say in the disposal
(vervreemding) of the cultivated land in the village.
In pressing cases, this can be utilised to empower the
fresh division of the sawah belonging to the dessa
among those villager who have a share in the holding
of land (the so-called nuclear villagers), wether
supplemented or not by those until then were excluded
from a share in the fields.

(b) According to custom (adat), only those villagers
who held a share in the cultivated village land had to
perform [labour services] … Under the pressure of the
Cultivation System, the cultivated land was often
divided afresh into smaller parcels, in order to
increase the number of land-holders an consequently
the number of those subject to labour service. Afresh
division of the land was also necessary when … the
village had to hand over sawah to be used for
government would have taken place primarily at the
expence of the more substantial cultivators within the
village.28)



Pembentukan para penguasa tanah baru untuk menciptakan
buruh-buruh bagi onderneming antara lain dilakukan
dengan pembukaan tanah-tanah baru untuk dijadikan
tanah olah-gilir atau gogol (komunal). Dalam membuka
tanah baru, seringkali beberapa desa bergabung untuk
mengusahakannya, seperti ilustrasi berikut ini:


Djaksa besar poenja paprieksahan ietoe sawa babadan
Siebakoeng njang boekak ietoe sawa orang darie 4
dessa, dessa Siebakoeng orang 13, Bandengan orang 12,
Kranding orang 7, Gedjlieg orang 12 … Ienie 4 loera
atoeranja moela-moela orang ketjielnja soeda boekak
ietoe otan Siebakoeng die biekin sawa sampe djadie
sawa, … ietoe tana soeda djadie sawa ada njeng soeda 3
taoen of 2 taoen.29)



Tetapi, usaha pembentukan kaum tani penguasa tanah
temporer ini, seringkali mendapat gangguan dari
orang-orang yang ber-"hak istimewa"
(geprivilegeerden). Acapkali lapisan sosial yang
ber-hak istimewa merampas tanah "baru" tersebut.
Seperti dilakukan oleh "teman-teman" bupati, untuk
kasus tanah bukaan baru:


Djadienja ietoe sawa die ambiel Sajied Abdool Rachman
bin Sehaf Tamar bermoelanja kiera-kiera sampee
sekarang soeda 5 taoen ietoe waktoe Raden Adipatie
[Wirio dhi Negoro] soeda tanja pada loera njang 3 –
Siebakoeng, Bandengan en Gedjlieg apa dia orang kassie
Sajied Abdool Rachman maoe ambiel otanja 40 bouw die
biekin sawa – die orang 3 menjahoet tiedak kassie –
lantas Raden Adipatie bekata kapan dia orang tiedak
kassie dan ietoe njang miessie djadie otan soeroot
djadieken sawa dalem satoe taoen – dia orang tiedak
tjakap die kassehken tapie otanja sadja.

Leen arienja Sajied Abdool Rachman dateng die sawa
Siebakoeng – kassie taoe katanja soeda dapet iedin
pegang ietoe otan Siebakoeng boewat biekin sawa –
dengen njang soeda djadie sawa orang soeda biekin
toeroot die pegang djoegak.

Orang ketjiel tiedak kassie sebab sawa boleenja biekin
kendirie dan ietoe Demang Raden Ardjodiewierijo njang
soeda lepas dateng die sawa baroe soerooh kassieken
die pegang pada Sajied Abdool Rachman – ietoe loera en
orang ketjiel tiedak kassie sampee ada njang die oekom
pada Demang Raden Ardjodiewierijo njang soeda lepas –
mangka ietoe djadie orang ketjiel kassie.30)



Hal tersebut menunjukkan, bagaimana pun juga desa
tidak bisa diperlakukan secara eksklusif, terisolasi
dari campur tangan orang-orang di luarnya. Dan juga,
menginformasikan bahwa terdapat segelintir orang
pemegang "hak istimewa", karena dekat dengan bupati,
sedang dalam proses formasinya menjadi "tuan-tuan
tanah baru." Orang-orang semacam ini jelas bisa
melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban kerja yang
dituntut oleh gubermen karena sanggup membayar
pajak-pajak tunai yang dibebankan negara kolonial.31)

Perkembangan di desa-desa dalam mendistribusikan tanah
adalah, setiap tahun dilakukan pembagian tanah dengan
mempertimbangkan pelapisan sosial yang ada. Misalnya,
seperti dilaporkan Commissie Umbgrove:


Het [desa] bestuur trachten en … regell te doen
aannemen eeine gelijke verdeeling onder the bevolking
zodanig, dan iedere sikep een, (als ook de kamitoeas),
de lebe, bahoe en kabaijan, ieder een en een kwart
aandeel, en de loerah twee aandeelen krijgt, of wel,
daarvoor overvloed van sawa’s bestaat, een verdeeling,
gemenredigd aan de krachten van iedere sikep, en welk
geval, genoemde leden van het dessa bestuur aandeelen
genuten en dezelfde verhouding als heerboven, doch
berekend naar het grootste sikeps aandeel: de velden,
die dan nog overschieten laat men zoo mogelijk door de
dessa’s …32)

(pemerintah [desa] mencoba dan … biasanya melakukan
pembagian merata di antara penduduk seperti itu, bahwa
setiap sikep, (seperti juga kamitua), lebe, bahoe dan
kabayan, masing-masing bagiannya seperempat, dan
bagian yang didapat lurah duakalinya, yaitu, untuk itu
terdapat sawah yang berlimpah, suatu pembagian, setiap
sikep bersama menyusun sesuai dengan aturan, dan
setidak-tidaknya, bagian anggota pemerintahan desa
tersebut menguntungkan dan berimbang sama seperti
atasannya (heerboven), tetapi ditentukan menurut
bagian sikep-sikep besar; tanah-tanah, yang masih
tersisa dengan begitu dapat dismpan/dibiarkan oleh
desa).



Sikep-sikep tersebut menguasai tanah antara empat
sampai duabelas bau.

Sulit untuk memastikan sejauh mana tanah-tanah sikep
bisa dinilai bersifat sementara atau menjadi milik
pribadi (individueel-bezit). Eindresume (2) misalnya,
menyatakan terdapat sekelompok kecil orang dalam desa
yang memiliki tanah pribadi.33) Atau, seperti dicatat
oleh Knight dari Kultuur Verslag tahun 1856, yang
mengatakan:


There exists here an abuse which has crept in over the
years, namely of fencing (ompaggeren) the sawah and
making so-called gardens of it, which are, however,
mostly still planted with padi, … since the abuse has
crept in here of considering house-plots (erven) and
such like farmland as individual property, in
deviation from all Javanese institutions.34)



Para sikep tersebut, dalam pembagian tanah yang
dilakukan setiap tahun, sudah pasti terjamin
mendapatkan hak-haknya. Sementara lapisan sosial di
bawah sikep, sebagian mendapat tanah olah-gilirnya
seluas setengah bau, dan sebagian yang lain tidak
mendapatkan tanah, meskipun mereka juga termasuk yang
melakukan kerja bagi gubermen. Atau dalam hitungan
Commissie Umbgrove, di karesidenan ini terdapat 9.169
penguasa tanah berhadapan dengan 2.238 yang tidak
bertanah, yang bekerja dalam onderneming gula. Atau,
seperti penghitungan gubermen pada awal 1860-an, untuk
seluruh buruh yang direkrut, di berbagai proyek
perkebunan, dapat dilihat dalam tabel 1 berikut:

Tabel:


Distrik
Keluarga Petani yang mendapat bagian tanah atau gogol
Keluarga petani yang tidak mendapat bagian tanah.

Pekalongan
3.318
1.723

Pekajangan
3.010
1.292

Sawangan
5.244
2.094

Wiradesa
6.098
704

Sragi
4.619
1.326

Bandar
3.875
678

Batang
4.521
1.929

Masin
3.343
933

Sedayu
4.397
764

Subah
3.237
2.051

Kalisalak
3.341
1.300

Kebumen
3.522
1.153

Jumlah:
48.525
15.946



Sumber: Statistiek der Residentie Pekalongan 1862.
(AKP 83 B/3)

Residen Pekalongan pun, tampaknya, menyadari bahwa
pendistribusian tanah tidak efektif sebagai ulah dari
orang-orang ber-hak istimewa, sebab merekalah yang
mengatur pembagian tanah ini:


Dat in het regentschap Batang de gewoonte bestaat, om
allen als deelgeregtigde in de sawas aantemerken die
landbouwers, welke aandeel in de suiker kultuur
hebben, de hoofden hebben daar als regel aangenomen
bij elke bouw suikerriet slechts 4 man intedeelen, hoe
sterk de bevolking ook moge wezen, onder deze menschen
worden al de aanwezigd sawas veerdeeld, en moeten de
met kultuur dienstpligtigen, wanneer zij ook sawas
willen hebben, die van hun huren, het behoeft dus geen
betoog, dat de gepriviligeerden alleen bij de kultuur
worden ingedeld, die een dubbel voordeel, en van de
suiker kultuur en van de sawas genoten.

Deze kultuur dienstpligtigen worden alleen opgegeven
landbouwers te zijn, en wordt de rest der bevolking
als parias beschouwd die door hunnen arbeid, hunne
mede burgers verijken moeten.35)

(bahwa di dalam Kabupaten Batang ada kebiasaan, yang
merupakan pemegang bagian sawah hanyalah para
kultivator (landbouwer), yang mengambil bagian dalam
penanaman gula, untuk itu para kepala [desa] membuat
peraturan yang menetapkan tiap bau tebu gula hanya
untuk empat orang laki-laki, tanpa menghiraukan orang
yang ada, semua sawah yang ada dibagi di antara
orang-orang ini, dan mereka yang tidak terlibat dalam
jasa kerja pada penanaman, juga bila ingin mendapatkan
sawah, bisa menyewanya, kebutuhan menjadi jelas, bahwa
hanya orang-orang ber-hak istimewa yang punya bagian
dalam penanaman, suatu keuntungan ganda, menikmati
tanaman gula dan sawah.

Orang-orang yang terlibat dalam jasa kerja pada
penanaman inilah satu-satunya yang dianggap sebagai
para kultivator, dan penduduk lainnya dianggap orang
parian yang melalui tenaganya (arbeid), harus ikut
penduduk desa kaya).



Sedang kaum "istimewa" ini dalam menjawab pertanyaan
atas ketidak-beresan tersebut, biasanya telah siap
dengan jawaban:


"… omdat er sawa’s gebrek bestaat."36)

(sebab tidak ada sawah.)



Padahal hampir setiap tahun dapat ditemui pembukaan
tanah-tanah baru.

Meskipun tanah gogol tetap dibagikan, namun seringkali
tanah yang dibagikan adalah tanah-tanah tandus dan
kering, atau luas tanahnya tidak memadai.37) Sehingga
tidak jarang petani menolak mendapatkan tanah gogol:


Seorang petani menyatakan mereka lebih suka menjadi
tukang/buruh daripada menjalankan kerja wajib dengan
bagian sawah yang begitu kecil.38)



Penolakan ini, tentunya berkaitan dengan tidak
mampunya petani gurem mengelola jatah tanahnya yang
menjadi sumber pemasukan yang menguntungkan. Mengingat
sejak pertengahan abad ke XIX dalam sehari buruh
onderneming gula harus bekerja selama 10 jam. Sebagian
besar waktu mereka habis untuk bekerja baik di
lahan-lahan tebu maupun dalam pabrik. Sehingga waktu
yang tersisa untuk menggarap tanah gogolnya menjadi
sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Lagi pula
jatah tanah gogol yang hanya seluas seperempat hingga
setengah bau (bukan dua bau seperti tertera dalam
kontrak), sebetulnya, tidak mampu menghidupi satu
keluarga petani. Jadi, perekonomian mereka, kini
betul-betul tergantung pada kelangsungan industri
gula.

Dari penjelasan di atas kini semakin jelas siapa yang
akan melakukan wajib kerja di pabrik dan kebun gula.
Seorang sikep bisa menghindari kerja di onderneming
dengan membayar sejumlah uang kepada lurah. Hal ini
diungkapkan dalam catatan seorang administratur pabrik
gula di Pekalongan tahun 1859:


There was … a constant traffic in coolies carried on
by loerah. Soemtimes men who did not wish to work as
sent as much as half a rupee to the loerah, who found
a replacement to whom he have perhaps 10 doits
reserving 40 doits to his commission.39)



Di samping itu seorang sikep tetap bisa memaksa
lapisan sosial di bawahnya untuk menggantikan kerja
bagi gubermen melalui pengaruh perhambaan yang
dimiliki sebagai petani-kaya. Untuk itu tidak perlu
mengeluarkan uang, seperti ditunjukkan Kultuur Verslag
1862:


Geschiedt veelal bij de sikeps of landbouwers door bij
hen inwonende en tot hun huisgezin behoerende lezen of
door hunne raijats of menoempangs terwijl ook wel
dikwijls afkoop van heerendienten in de dessas
plaatsvindt, hoewel dit laatste zooveel mogelijk wordt
tegengegaan.40)

(Biasanya sikep-sikep atau kultivator melalui orang-orang yang menumpang padanya dan untuk anggota keluarganya atau melalui rakyatnya atau menoempang pada waktu itu seringkali juga menebus heerendienst dalam desa-desa, meskipun pada akhirnya banyak ditentang).


Dari penyudutan lapisan sosial bawah yang mengakar dalam desa inilah, mendorong lahirnya "kerja bebas" (vrije arbeid), yaitu sekelompok orang memasuki orbit pabrik-pabrik gula menawarkan diri tanpa diperintah oleh para pamong atau pun atasannya.

Meskipun selama paruh pertama abad ke XIX sebagian
besar kerja yang diserap oleh onderneming-onderneming
pemerintah adalah tidak bebas ("unfree" workers),41)
namun sejak awal 1850-an di Pekalongan diketahui
terjadi pergeseran yaitu bahwa bentuk pengerahan kerja
dari desa-desa untuk memasuki orbit onderneming
melalui baik heerendienst maupun cultuurdienst tidak
berlaku mutlak terhadap kaum penguasa tanah (sikep
atau gogol) saja, melainkan ditawarkan kepada siapa
saja yang bersedia untuk bekerja di onderneming.
Mereka yang bersedia bekerja bagi gubermen tersebut,
disebut vrijwelliger (pekerja sukarela). Para
vrijwelliger ini dapat langsung direkrut pabrik tanpa
campur tangan pemerintah.

Ada beberapa alasan yang bisa diajukan bagi terbentuk
dan terserapnya "kerja-bebas" yaitu: pertama, akarnya
telah ada dalam pelapisan sosial dalam desa yang
menunjukkan jurang sosial yang dapat diidentifikasi
berdasarkan aksesnya terhadap tanah. Karena persoalan
distribusi tanah tidak terlaksana dengan baik, maka
sekelompok orang berusaha melepaskan pengaruh
ikatan-ikatan "adat" yang mengungkunginya dan
menemukan wadah barunya sebagai buruh "bebas" dalam
onderneming.42)

Kedua, upah-upah yang ditawarkan onderneming, untuk
sementara waktu, agaknya bisa menutup biaya kebutuhan
pokok sehari-hari43) buruh:


De levens middelen zijn over het algemeen goedkoop en
een man kan zich gemakkelijk roeden met 10 a 12 duiten
daags.44)

(Bahan pangan pada umumnya murah dan seorang tiap-tiap
hari dapat mencukupi diri dengan 10 atau 12 duit).



Ketiga, suiker-campagne yang dilakukan pabrik selama
musim giling, lebih memberi motivasi kuat bagi para
penjual tenaga (para buruh), bahwa kerjanya memang
dibutuhkan.

Dan melimpahnya jumlah tenaga kerja:


"… genoegzame opkomst van vrijwelligers overbodig."45)

(timbulnya vrijwelliger lebih dari yang diperlukan).



Empat hal inilah yang tampaknya memotivasi kaum tani
untuk – tanpa tekanan dari para kepalanya – secara
sadar memasuki lingkungan pabrik. Muncullah
kelompok-kelompok buruh yang bergerak bebas menawarkan
tenaga. Mereka hampir selalu berpindah-pindah tempat,
sebagai orang bebas. Sebutan untuk mereka ini adalah
wong boeroeh atau koeli, orang Belanda menyebutnya
vrije arbeider yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan
desa. Kaum buruh ini tidak memiliki apa-apa buat
hidupnya, selain dari tenaga dan pikirannya. Inilah
satu-satunya kemampuan yang dipunyai untuk
mempertahankan hidup mereka. Kaum tani bagaimanapun
juga melaratnya, pada prinsipnya ada yang masih
memiliki tanah sebagai alat pencahariannya. Di akhir
1850-an, pabrik Sragie telah seratus persen
menggunakan buruh-buruh bebas ini.46)

Bagaimanapun juga, para fabriekant lebih menyukai
perkembangan baru ini, karena mereka terkurangi
kerepotannya untuk mendapatkan buruh seperti terjadi
dalam tahun-tahun yang lampau:


At one step … had introduced "free labor", since the
local administration no longer played a part in
providing forced labourers for the factories; instead,
they were obtain quite legally by means of agreements
between manufacturers and village chiefs …, and the
manufacturers to enjoy what they sought: a ready and
dependable supply of cheap labour.47)



Perkembangan selanjutnya dari "kerja-bebas" ini
semakin tidak terbentung, sehingga dalam tahun 1860
gubermen menetapkan bahwa untuk kerja dalam pabrik
harus dilakukan oleh kaum pekerja bebas. Meskipun
demikian pemerintah masih membuka diri untuk memberi
bantuan bagi pabrik-pabrik yang mengalami kesulitan
dalam merekrut tenaga kerja secara bebas ini.48) Dalam
tahun 1864 gubermen menarik diri dari membantu pabrik
dalam mendapatkan kebutuhan-kebutuhan sekunder,
seperti untuk memperoleh kayu bakar, kapur, hewan
penarik gerobak dan lain sebagainya.49)

Jadi, sejak pertengahan abad XIX berlangsung dua jenis
penyerapan tenaga kerja, pertama yang disediakan oleh
lurah, dan kedua yang langsung menawarkan jasanya ke
pabrik-pabrik. Pihak pabrik pun tidak melakukan
pembedaan antara bentuk kerja yang dilakukan atas
dasar kerja wajib yang disediakan para lurah, dengan
kerja yang dilakukan secara sadar untuk menutup
kebutuhan hidup.50) Kegagalan papen-panen padi, yang
merupakan bencana di desa-desa menjadi motivasi kuat
larinya petani untuk menjadi buruh onderneming:


In … Pekalongan a decade earlier [1857], it was
remarked by another of the factory owners that "the
people go about the work early … to which fact the
failure of the rice-harvest has maybe contribute." By
1870, at the same Pecalongan Factory, worker were
being turned away daily from the factory gates, so
abundantly were they pouring out of the villages
during the dry season. It was, as the management so
aptly remarked, "a gratifying spectacle" to see them
all crouding outside the factory at the change of
shift, each man trying to make sure that he would be
taken on. In short, a class of free labourers,
dependent for a substantial part of their livelihood
on wages earned in the sugar industry, was in the
process of formation in the countryside of the pesisir
by 1870.51)



Di awal pembukaan onderneming, tahun 1830, pemerintah
mempunyai kekhawatiran bahwa buruhnya akan
meninggalkan pekerjaan wajibnya. Sehingga dibuatlah
barak-barak buruh. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, tampaknya, hal ini sudah tidak diperlukan
lagi sebab berlangsung cara yang tidak merepotkan kaum
fabriekant yaitu dengan mengkondisikan kebiasaan hidup
boros para buruh. Gejala perjudian, prostitusi, candu
dan minuman keras yang selalu didatangkan pada
musim-musim panen menjadi sarana yang penting untuk
mengkondisikan buruh akan terjerat sebagai buruh. Bagi
buruh, berbagai kesenangan sesaat tersebut menjadi
kebutuhan hiburan satu-satunya, setelah mereka
tertekan secara fisik dan psikologis dalam alur
kegiatan pabrik yang melelahkan dan menjemukan. Mereka
tidak tahu bagaimana menggunakan uang dengan "benar",
karena tidak ada kesempatan memikirkannya. Hal-hal
yang menggiurkan tersebut akan selalu muncul dan
disodorkan kepada mereka bersamaan dengan saat mereka
menerima upahnya. Sebagaimana digambarkan Lulofs untuk
kuli kontrak dari Jawa yang diserap ke Sumatera:


Bagi mereka uang hanyalah alat untuk berjudi. Dan
perbedaan antara banyak dan sedikit uang bagi mereka
hanya berarti waktu berjudi lebih lama atau lebih
singkat52.)



Dengan terserapnya buruh pada ritme kerja dan
penghamburan uang tersebut, maka pada akhirnya
barak-barak buruh hilang dengan sendirinya. Sebab kini
para buruh itu sendiri yang mencari atau membuat
tempat tinggalnya di sekitar pabrik, sebagai upaya
tinggal dekat tempat bekerja. Muncullah
kampung-kampung industri yang melingkungi pabrik
dengan komunitas buruh. Buruh-buruh tersebut telah
tercabut dari akar desanya. Kehidupan desa tampaknya
sudah tidak lagi "Gemah ripah loh jinawi".

Adalah wajar jika dalam zaman modal swasta (1870-1930)
timbul berbagai pemogokan buruh, sekelompok buruh
tampaknya mulai sadar bahwa kelangsungan pabrik-pabrik
tergantung pada tenaga mereka. Secara riil mereka
menyaksikan para tuan pabrik yang mempekerjakan mereka
hidup mewah dengan rumah megah, memiliki mobil,
bermain bilyar (kamar bola), sering berpesta, dan
memelihara gundik. Sementara para buruhnya tampak
lusuh, miskin, kelaparan setelah habis diperas namun
tidak menerima imbalan yang sesuai. Jurang sosial ini
yang, tampaknya, mendorong buruh bergerak menuntut
hak-haknya.


Catatan:

1) Knight, 1980, "From Plantation to Padi-field: The
Origin of the Nineteenth Century Transformation of
Java's Sugar Industry," Modern Asian Studies, 14, 2,
hal. 177-204.

2) Sedang ekspansi penanaman tanaman ekspor yang padat
karya ini ke karesidenan-karesidenan pedalaman --
Madiun, Kediri, Banyumas dan Bagelen--dilakukan pada
tahun berikutnya. (DH. Burger, 1962, Sedjarah Ekonomis
Sosiologis Indonesia, Djilid I, tjetakan ke-3, disadur
oleh Prajudi, Pradnjaparamita, Djakarta, hal. 185).

3) Tiga persen dari luas lahan sawah yang ada di
Pekalongan. Luas lahan tebu ini hampir selalu tidak
tepat ukurannya. Kesulitannya adalah karena digunakan
sistem rotasi lahan tebu. Pihak pabrik akan selalu
mengambil tanah-tanah lebih luas dari yang
diperkirakan. Seperti pada tahun-tahun antara 1838
hingga 1840-an, verbaal-verbaal Direktur Perkebunan
menyebutkan luas-luas yang berbeda-beda. Luas 1500 bau
adalah untuk tanaman yang telah dewasa. Sedang untuk
penanaman bibit-bibit baru diperlukan tanah dengan
luas yang sama. Hal ini dilakukan agar pabrik-pabrik
bisa terjamin pasokan tebunya terus-menerus setiap
tahun. (Archiven Cultures 1816-1900 (selanjutnya AC)
no. 408 dan AC no. 1584).

4) Lihat Arsip Karesidenan Pekalongan (selanjutnya
AKP) no. 73/1. Dari tahun ke tahun redaksional
kontrak-kontrak tersebut mengalami perbaikan. Setelah
didirikannya pabrik-pabrik modern di tahun 1837-1838,
kontrak kerja dibatasi antara mulai waktu tanam hingga
panen saja, sekitar 18 bulan.

5) Namun sejak 1834, Bosch membuat peraturan bahwa
gubermen hanya bertanggungjawab pada penyiapan
buruh-buruh untuk kerja di luar pabrik. Untuk buruh
dalam pabrik, fabriekant harus mencarinya sendiri.
Tetapi ada keluhan-keluhan dari beberapa fabriekant
seperti dialami oleh Bosch sendiri, yang terjadi saat
dia mengunjungi salah satu kontraktor pabrik gula. Di
pabrik yang dikunjunginya, kontraktor tersebut hanya
mendapatkan tebu saja yang dibantu oleh gubermen,
sedang untuk mendapatkan kebutuhan lain seperti kapur,
batu bata, kayu bakar, atau tenaga kerja, kontraktor
tersebut harus memesannya sendiri pada penduduk
setempat tanpa bantuan gubermen. Kebutuhan sekunder
ini sangat sulit didapatkan tanpa bantuan gubermen.
Keluhan ini menggugah Bosch, sehingga akhirnya dia
menginstruksikan untuk memberi dukungan terhadap
kebutuhan-kebutuhan para kontraktor gula tersebut.
(Lihat kutipan Hoevell, dalam Penders, Indonesia
Selected Documents on Colonialism and Nationalism,
1830-1942, University of Queensland, 1977, hal. 38).

6) Vitalis, dalam laporannya tahun 1834, mengatakan
bahwa di dalam kebun-kebun tebu dibangun "desa"
(dorp). Dalam "desa" tersebut terdapat pondok yang
dihuni oleh para kuli; pesanggrahan yang merupakan
tempat tinggal staf pabrik (orang-orang Eropa); dan
kandang-kandang kuda (AC. No. 1624). Bentuk "desa"
dalam kebun yang khas Pekalongan ini, menjadi
prototipe yang kemudian dikembangkan dalam
karesidenan-karesidenan lain, seperti misalnya dibuat
pula di Karesidenan Cirebon, (Jan Breman, 1986,
Penguasa Tanah dan Tenaga Kerja Jawa Masa Kolonial,
LP3ES, Jakarta, hal. 30)

7) AC. No. 46.

8) Surat bertanggal 5 Oktober 1836, Besluit, 3 Januari
1837 No. 4.

9) Bupati Pekalongan terkenal sangat tidak mendukung
jalannya perkebunan kolonial. Hal ini disebabkan
mereka sendiri cukup mampu menghidupi keluarga
besarnya dengan mengelola beberapa perkebunan indigo
(nila). Seperti dilaporkan Vitalis, Inspecteur der
Kultures tahun 1837, yang mengatakan tentang bupati
Karesidenan ini, "… who prefered very much to be left
alone and only carried out inspections when they had
to accompany the Resident on tour, … (dalam Penders,
1977, loc.cit., hal. 22). Hal serupa, misalnya, juga
dilaporkan oleh kontrolir Batang pada tahun 1844
(lihat Gordon R. Knight, 1982, "Capitalism and
Commodity Production in Java," Capitalism and Colonial
Production, Hamzah Alavi dkk. (eds.), Croom Helm,
London & Canberra, hal. 143). Setelah 1848, terdapat
gejala yang menjadi kebalikan dari tahun-tahun
sebelumnya. Yaitu, membaliknya sikap bupati dari
membelakangi gubermen kini justru mendukung berbagai
kegiatan sistem. Bupati tidak hanya meluluskan setiap
instruksi gubermen untuk menyediakan
fasilitas-fasilitas tanah dan buruh saja, tetapi juga
terlibat pekerjaan pengaturan teknis, seperti
menunjukkan bagaimana pem-bajak-an tanah harus
dilakukan, (lihat kutipan dalam Knight, ibid., hal.
145). Dengan berbaliknya sikap bupati setelah
pertengahan abad, cukup berpengaruh bagi para pamong
yang berada di bawahnya. Seperti terlihat dalam
Dagboeken Controleur tahun 1851, kontrolir Pekalongan
melaporkan inspeksi-inspeksinya sangat dibantu oleh
para patih, lurah maupun wedono, dan orang-orang ini
telah siap mengatur pengerahan heerendienst. (Catatan
tanggal 9 dan 10 Januari, AKP no. 127/7).

10) Gejala buruh anak-anak ini berlangsung sepanjang
periode cultuurstelsel. Laporan Commissie Umbgrove,
misalnya, juga menemukan buruh anak-anak berusia
sekitar 14 tahun (loc.cit.)

11) Residentie Archieven "Pasar Ikan" 1800-1920
(selanjutnya RA) no. 120.

12) Bosch, 1834. (Eenige Zakelijke Extracten uit een
Algemeen overzigt, door Z.E. den Komissaris General
Van den Bosch, te zamen gesteld, gedagtekend 24
Januarij 1834).

13) Dalam pertengahan abad XIX, Umbgrove, pejabat
Hoofd-Inspecteur van Financien, membentuk Commissie
untuk melihat kondisi 95 pabrik gula pemerintah yang
masih aktif. Pekerjaan Commissie ini menyelidiki
kelaikan pabrik dan bagaimana kondisi petani yang
berada di sekitar onderneming. Obyek penelitian dan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan cukup mendetil,
dan sasarannya mencakup seluruh desa yang terlibat
kerja-kerja dengan industri gula. Hasil penelitiannya
diterbitkan dalam bentuk monograph per pabrik. Dalam
hal pendataan mungkin yang dilakukan commissie ini
lebih baik dari yang dikumpulkan Eindresume
(Eindresume van het bij Gouvernements besluit dd. 10
Juli 1867 no. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van
den Inlander op den Grond op Java een Madoera. Diedit
oleh Bergsma. Batavia-Ernst & Co. Bab "Pekalongan",
hal. 81-92) yang dilakukan satu dekade kemudian.
Eindresume hanya mencantumkan dua desa di lingkungan
onderneming tebu, dari 26 desa yang diteliti. Duapuluh
empat desa selebihnya merupakan desa-desa terpencil
yang penduduknya tidak mengalami interaksi langsung
dengan industri gula.

14) Onghokham, "Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad
XIX: Pajak dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Tanah,"
dalam Dua Abad Penguasaan Tanah, Sediono MP.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (peny.), PT.
Gramedia, Jakarta, 1984, hal. 7-8.

15) Terutama untuk distrik-distrik yang mempunyai
kepadatan penduduk cukup tinggi; lihat jugaa Breman,
1986, op.cit., hal 15. Namun pada daerah-daerah yang
langka penduduk, biasanya kesatuan cacah hanya terdiri
dari 4 orang saja.

16) Bosch, 1834, loc.cit.

17) Laporan Commissie Umbgrove, loc.cit.

18) Jabatan jaman kerajaan sebelum hadirnya
kolonialisme, yaitu orang yang menguasai warga
berjumlah sekitar seratus orang.

19) Laporan Commissie Umbgrove, loc.cit.

20) Kultuur Verslag 1862 bab heerendiensten, (AC
1624).

21) Politiek Verslag, AKP 70/21: 3.

22) Kalau suami telah meninggal posisi itu diwariskan
kepada istrinya dan disebut rondo kiesie.

23) Bagi-hasil adalah bentuk pengerahan tenaga manusia
untuk penggarapan tanah yang tidak mengakibatkan
terbentuknya kelas petani tersendiri. Di Karesidenan
Pakalongan agak banyak dijumlai dalam distrik Subah,
terutama untuk menggarap tanah pekarangan yang
membudidayakan buah-buahan. Biasanya pemilik tanah
menyerahkan separuh dari hasilnya kepada yang menanam
(disebut memaro). Lihat AMPA Scheltema, Bagi Hasil di
Hindia Belanda, Yayasan Obor Indonesia, 1985, hal.
142-4.

24) Bosch, 1834, loc.cit.

25) Konsep pemilikan tanah, tampaknya, berasal dari
Rafles. Semasa pemerintahannya yang singkat Rafles
telah meletakkan dasar-dasar penting bagi perubahan
mendasar di Jawa. Antara lain, dia menerapkan
pengambilalihan seluruh tanah di Jawa menjadi milik
negara (domein), karena menurutnya tidak ada pemilikan
tanah pribadi pada masyarakat bumiputera. Tampaknya,
Rafles menduga gejala penyerahan upeti pada para
penguasa bumiputera sebagai bukti dari pemilikan tanah
negara. Yang jelas kebijaksanaan Rafles sangat
dipengaruhi oleh sistem sosial Zamindar ("tuan-tanah")
yang ada di India, jajahan Inggris. (Untuk ini dapat
disimak karya Rafles, The History of Java, 1817, hal.
135-7). Oleh Van den Bosch, kebijakan Rafles tentang
pertanahan (milik negara) ini diadaptasi dan digunakan
untuk berlangsungnya cultuurstelsel dengan melakukan
sedikit modifikasi. Seperti, jika pada konsep Rafles,
tanah yang diambil negara itu dalam rangka menarik
uang dari petani karena petani menjadi penyewa
sehingga wajib membayar sewa tanah (landrente), maka
oleh Van den Bosch dibalik, yaitu tanah-tanah
dikembalikan kepada rakyat bumiputera. Namun
pengembalian tanah-tanah tersebut disertai beban yakni
setiap petani yang mendapat atau menguasai tanah
wajiib menanami tanah tersebut dengan tanaman dagang
konsumsi dunia, atau menyediakan diri untuk bekerja
selama 66 hari pada onderneming-onderneming
pemerintah. Pewajiban-kerja yang diajukan Bosch ini
dianggap lebih ringan jika dibandingkan dengan
kewajiban membayar pajak (lanrente). (Untuk
membandingkan kedua sistem yang diterapkan oleh Rafles
dan Van den Bosch, dapat diikuti dalam Sutjipto (ed.)
Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, Seri Sartono
Kartodirdjo, dkk., Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, hal. 57-89).

26) Sikep sebagai kelas sosial, nampaknya masih tetap
bertahan sampai perempat pertama abad ke-XX. Lihat,
misalnya, Memorie Van Overgave residen-residen Cirebon
dari J Van Marel, tanggal 22 April 1922, atau R.Ph.M
van der Meer, 9 April 1925 maupun dari C.J.A.E.T.
Hiiljee, 3 Juni 1930. (Memori Serah Jabatan
1921-1930), (Jawa Barat), 1976, ANRI, hal. 185-238).
Meskipun di beberapa distrik terjadi perubahan istilah
dari sikep menjadi kuli kenceng atau kuli kendo hal
ini tidaklah berarti mereka dapat dipaksa melepas
hak-hak istimewa yang dimilikinya, atau turun
statusnya menjadi buruh tani. Mereka tetap bertahan
sebagai kelas petani-kaya yang tidap perlu menjual
tenaga-kerjanya pada orang lain, atau pada pabrik,
lihat Gunawan Wiradi, Kompas 23 Maret 1983, "Kuli
Kenceng di Pedesaan Jawa – Apa Masih Ada?"

27) AKP 73/1.

28) Fasseur, 1975, dikutip dalam Knight (1982),
loc.cit. hal. 133-4.

29) Lampiran La G. dalam besluit 8 Januari 1847, no.
1.

30) Ibid. Lagi pula tindakan Abdool Rachman ini
didukung oleh demang setempat. Demang tersebut bahkan
menghukum para petani yang tidak bersedia menyerahkan
tanah tersebut kepada Abdool Rachman. Hal ini
membuktikan bahwa kaum elit bumiputera masih sempat
bertindak semena-mena. Dan sejauh tidak merugikan
gubermen, tampaknya, tindakan ini tetap ditolelir.

31) Jumlah pembayar pajak di Pekalongan tidak banyak,
hanya sekitar 450 orang. Setiap tahunnya dari
orang-orang ini bisa dikumpulkan lebih-kurang 400.000
gulden bagi gubermen. Inilah orang-orang pemegang hak
istimewa yang terutama memiliki tanah-tanah luas,
beberapa di anataranya menguasai lebih dari 100 bau.
(Register van de taxatie der eigendommen in de
Residentie Pekalongan 1847-1849/AKP 85/4).

32) Laporan Commisie Umbgrove, loc.cit.

33) Eindresume … 1880, hal. 84, 86.

34) Knight, 1982, loc.cit., hal. 139.

35) Politiek Verslag tahun 1859, AKP no. 69.

36) Laporan Commissie Umbgrove, loc.cit.

37) Ibid.

38) Uemura Yasuo, "Perkebunan Tebu dan Masyarakat
Pedesaan di Jawa," dalam Indonesia Dalam Kajian
Sarjana Jepang: Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX
dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Diedit oleh
Akira Nagazumi dan Taufik Abdullah. Yayasan Obor
Indonesia, 1986, hal. 60.

39) Knight, 1982, loc.cit., hal. 139.

40) AC no. 1624.

41) George C. Allen dan Audrey G. Donnithorne, Western
Enterprise in Indonesia and Malaya: a study in
Economic Development, George Allen & Unwin Ltd.
London, 1957, hal. 70.

42) Commissie Umbgrove dalam laporannya cukup jelas
ketika mengatakan bahwa koeli dan wong boeroeh umumnya
berasal dari luar desa. Hal ini tentunya untuk
menunjukkan bahwa ada buruh yang disediakan oleh
desa-desa secara ‘adat’ yang disebut menumpang dan
bujang.

43) Selama tahun 1840-an upah diperkebunan gula
bertahan antara 12 hingga 15 duit, dan sejak 1850
antara 15 sampai 20 duit. Sedang untuk kuli yang
bersedia kerja nonstop siang-malam sekaligus mendapat
40 duit. Tetapi untuk para pengawas atau mandor upah
per hari jauh lebih besar sekitar 40 duit untuk kerja
satu shift. Sejak awal 1850, kondisi upah dalam
industri gula mulai membaik. (Lijst van Ingekochte
Materialen en Verwerkte Arbeidsloonen 1842-1859, AKP
20/1; Kultuur Verslag 1862 sub "Dagloonen", AC no.
1624.) Upah ‘realistik’ ini, tampaknya berhasil
meredam keresahan buruh. Selama berlangsungnya
cultuurstelsel di Karesidenan Pekalongan hanya terjadi
satu kali ‘pemogokan’ di onderneming gula yaitu pada
tahun 1842.

44) Pernyataan Residen Pekalongan tahun 1852 (AC no.
1624).

45) Laporan Commissie Umbgrove, loc.cit. Misalnya
untuk kerja menanam dan merawat kebun tebu,
persetujuan yang dilakukan antara 1830 hingga akhir
1840-an, untuk mengolah satu bau lahan tebu hanya
dilakukan oleh empat orang. Tetapi sejak awal 1850
masing-masing pabrik bisa merekrut tenaga perawat tebu
antara enam hingga delapan orang untuk setiap bau. (AC
no. 1624)

46) Khususnya untuk kerja dalam pabrik. Tetapi untuk
kerja-kerja dalam kebun-kebun masih dilakukan oleh
para vrijwelliger. (Politiek Verslag tahun 1859, AKP
69/5; dan AC no. 1624).

47) Elson, Javanese Peasants and the Colonial Sugar
Industry: Impact and Change in an East Java Residency,
1830-1940, Oxford University Press, Singapore, 1984
hal. 116-7.

48) Burger, 1962, op.cit., hal. 219.

49) Register Gouvernements Secretaris, Van Deinde, 31
Oktober 1864, untuk Karesidenan Pekalongan dan
Cirebon, AC no. 499.

50) Elson, 1984, op.cit., hal. 120. Lebih lanjut dalam
penelitiannya di pabrik-pabrik di Karesidenan
Pasuruan, Elson menemukan ‘kerja-bebas’ pada para
penarik gerobak, di pabrik-pabrik swasta yang kecil
kapasitas produksinya. Biasanya untuk ini fabriekant
menawarkan uang muka tunai, yang akan terlunasi dengan
serangkaian kerja sepanjang musim panen. Uang muka ini
tidak hanya dipakai untuk merangsang petani pada
pekerjaan pengangkutan tapi juga melengkapi mereka
dengan uang yang diperlukannya untuk membeli hewan dan
gerobak-gerobak. Persiapan-persiapan ini membuka akses
pada jumlah modal yang besarnya tidak lazim bagi
tukang-tukang gerobak. Di sisi lain meringankan
fabriekant dari penyediaan dan pemeliharaan
fasilitas-fasilitas pengangkutan sendiri. Meskipun
demikian, tukang-tukang gerobak sering
menginvestasikan uangnya secara ‘irasional’, dengan
menghabiskannya dalam perlombaan-perlombaan yang
‘gagah-gagahan’. Maka para penarik gerobak harus
bekerja tanpa bayaran selama bagian akhir musim panen
itu. Banyak di antara tukang gerobak yang memilih
mengingkari kontrak-kontraknya dan melarikan diri
begitu saja. Untuk menanggulangi masalah ini, akhirnya
gubermen mencoba mempromosikan rasa tanggung jawab
pada buruh-buruh pengangkutan, dengan memberi persekot
tunai yang kecil, sedang pada penutup musim panen,
masih tersedia uang tunai dalam jumlah yang berarti.
(Ibid., hal. 110-3). Selain itu gejaka ‘kerja-bebas’
dapat pula ditemui dalam karesidenan-karesidenan
Probolinggo, Surabaya, Kediri, Cirebon dan Kendal
(lihat DH. Burger, 1939, De ontsluiting van Java’s
Binnenland voor het Wereldverkeer, hal. 142-4).

51) Knight, 1982, loc.cit., hal. 140-1.

52) Dikutip dari M.H. Szekely-Lulofs, 1985, Berpacu
Nasib Di Kebun Karet, Grafitipers, hal 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar