Rabu, 15 Desember 2010

Pandangan Politik Komite Pimpinan Pusat Serikat Mahasiswa Indonesia Atas Momentum hari lahir Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) dan Hari kemerdekaan Re

Perkembangan politik dalam negeri Indonesia pada dasarnya tidaklah mencermin politik yang mengabdikan kekuasaannya pada kepentingan negara dan rakyat, akan tetapi memang politik masih menjalankan skema yang sama dengan sistem produksi yang sedang berkuasa-kapitalisme, artinya politik hanyalah sebuah alat saja dengan berbagai kepentingan yang ada di dalamnya.
Situasi tersebut menyiratkan bahwa memang politik tidak bisa dipisahkan dari aktivitas produksi dan distribusi ala kapitalisme, kekuasaan politik menjadi tergantung-tidak bebas apalagi indevenden dalam menjalankan berbagai kebijakan. Terlihat memang negara dengan segala aparaturnya seolah-olah menjadi institusi yang melayani keepentingan semua rakyat disegala sektornya. Akan tetapi negara menjadi tergantung atas kepentingan kelas pemilik modal yang secara kuantitats minoritas dan secara kualitas memiliki modal besar atau dikenal mereka sebagai kelas berpunya sehingga menjadikan mereka bisa melakukan apa saja dengan kekayaan mereka yang berlimpah termasuk menjadikan kekuasaan negara tunduk dan menjadi pengabdi setia mereka. Maka menjadi tepat bahwa rezim
yang berkuasa (SBY-Boediono) adalah rezim borjuasi.
Tentu menyatakannya sebagai suatu analisa yang tepat haruslah membutuhkan bukti yang nyata ada,sehingga nantinya kesimpulan kita atas situasi politik Indonesia bukanlah bualan, sebuah bahasa provokasi ataupun kata-kata yang kosong tanpa makna akan tetapi tepat adanya. Kepemimpinan rezim borjuasi tidak sedikit mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak sinergis dengan perbaikan hidup rakyat Indonesia tapi setiap kebijakan negara dalam hal ini rezim borjuasi SBY-Boediono bersinergis dengan kepentingan para kelas pemodal/para pengusaha internasional dan nasional.
Pengesahan dan pelaksanaan Nasional summit dari hasil road map KADIN, perdagangan bebas seperti; ACFTA ditengah situasi ekonomi dalam negeri masih mengalami perbaikan (recovery) setelah tertimpa krisis kapitalisme. Dinyatakan bahwa perdagangan bebas akan memberikan dampak yang positif atas perbaikan ekonomi-politik suatu negara, artinya tentu perdagangan bebas mendatangkan keuntungan bagi negara tersebut pada akhirnya mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Tapi kita bukanlah orang yang tertipu dengan janji-janji yang seolah kedengarannya begitu mulia karena pada faktanya perdagangan bebas dalam sejarahnya bahkan sampai praktiknya seperti ACFTA tidak memberikan perkembangan positif bagi negara yang terlibat kecuali memang menguntungkan mereka para kelas kapitalis baik yang secara terang-terangan maupun yang bersembuyi dengan menggunakan institusi negara. Karena hakikatnya perdagangan bebas dalam segala tempat dan waktu termasuk dalam bentuk perdagangan regionalisasi tidak akan menguntungkan selama itu dijalankan tata produksi yang kapitalistik.
Hal lainnya adalah, pada awal bulan juli 2010 rezim borjuasi melahirkan kebijakan kenaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) rata-rata 10%. Dasar dari kebijakan tersebut bukanlah persoalan untung rugi PLN akan tetapi bersandar pada politik energi yang berorientasi pada liberalisasi disektor energi secara keseluruhan yaitu menghilangkan monopoli negara atas energi menjadi monopoli modal swasta dari semua tingkatan aktivitasnya dari Hulu sampai Hilir, seperti halnya modal semisal exxon mobile, petronas, Shell dll menyingkirkan BUMN-pertamina dibisnis BBM dan juga penguasaan modal atas sektor lainnya.
Disisi yang lain, beberapa praktik demokrasi yang dijalankan hingga saat ini adalah semurni-murni praktik demokrasi ala liberalisme dimana politik bersandar pada kekuatan modal, dalam menjalankan kekuasaannya tidak terlepas dari arahan modal dan prilaku-prilaku borjuasi dengan nafsu dalam derajat yang tidak terbendung oleh nilai moral apapun. Masih segar dalam ingatan kita tentang kasus bailout Bank Century, kasus penggelapan pajak, kasus penyuapan disetiap perangkat aparatur negara dan lainnya, inipun belum selese.
Sementara kekuasaan ditingkat legislatif yang diisi oleh orang-orang yang berasal dari berbagai partai politik yang katanya berposisi sebagai wakil rakyat pada kenyataannya tidak memiliki daya kekuatan apa-apa untuk membendung arus liberalisasi dari paket-paket kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga ekscutive (SBY-Boediono) atas titipan para kelas berpunya negeri ini dan kelas pemodal international. Malahan mereka (parlement) semakin menguatkan posisi itu dengan membuat dan mengesahkan setiap regulasi yang bisa melancarkan kepentingan pasar. Sebut saja UU no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan, UU No.30 tahun 2009 tentang kelistrikan, UU Minerba, UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan yang lainnya termasuk beberapa peraturan pemerintah dan keputusan setingkat menteri.
Sehingga menjadi jelas terlihat bahwa tidak ada satu partaipun yang benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat karena memang itu tidak akan pernah ada dalam kamus politik liberal, kalau beberapa bulan sebelumnya kita melihat DPR sibuk dengan penyelesaian kasus-kasus seperti Bank Century dan tidak pernah tidak berbicara atas nama rakyat bahkan sampai berkelahi ketika sedang bersidang, tapi semuanya itu hanyalah sebuah sandiwara belaka seperti drama dalam opera. Karena sebenarnya suara mereka hanyalah buat sang tuan modal dan wakil mereka diparlement ddibayar dengan beberapa Rupiah.
Pertengkaran mereka tidaklah lebih hanya sebatas persoalan kue kekuasaan bukan pertentangan antara kepentingan modal dengan kepentingan rakyat. Lihat saja PDI-P Cs yang mengklaim dirinya partai oposisi dengan partai demokrat Cs, Nasional Demokrat yang muncul pasca pemilu 2009 (pesta demokrasi liberal) dari berbagai parpol dan elit politik, ternyata semuanya berujung pada pilihan-pilihan pragmatis-opportunis paling buruk diantara keburukan pragmatisme politik yaitu hanya bermuara pada cash value secara ekonomi politik.
Disamping itu beberapa elit politik negeri ini memperlihat moralitas yang begitu rendahnya, lihat saja beberapa praktik korupsi yang sudah menjadi hal biasa dikalangan elit politik lokal sampai nasional dengan melakukan penjarahan secara terbuka demi kepentingan pribadi dan golongan mereka. Sekedar sebagai contoh, kasus korupsi elit partai PPP yang melakukan korupsi jatah sapi dan mesin jahit rakyat miskin sebesar 27,6 Milyar (2006), elit partai Golkar yang mencuri uang rakyat lewat tidak membayarkan pajak perusahaanya sebesar Rp 2,1 Triliun (2008), lalu elit partai PKS yang mencuri uang lewat LC fiktif (2007), elit partai PDIP yang menerima suap dari Miranda Gultom (2004) hingga soal gratifikasi para anggota DPR dari BI, belum lagi kasus-kaus korupsi ditingkatan lokal. Tapi memang mereka-elit politik borjuasi pandai bersilat lidah, selalu bersolek dengan kosmetik terkenal buatan dalam negeri dan komestik import.
Kesemuanya itu adalah sebagaian dari sekian banyaknya kasus yang semakin memperlihatkan betapa menjijikkannya tata politik borjuasi yang bersandar pada kepentingan modal. Sehingga pantas dan patut untuk mengatakan bahwa partai politik dan kekuatan politik para elit-elit politik borjuasi apapun bentuk dan namanya sama sekali tidaklah mencerminkan politik kerakyatan.
Sekilas menengok kebelakang pasca reformasi, sering dikatakan sebagai ruang untuk mempraktikan demokrasi sebenarnya yang memberikan kebebasan politik, sehingga mampu menumbuhkan partisifatif rakyat dalam berpolitik pada faktanya tidaklah demikian. Pasca reformasi prosesi politik negeri ini tidak menampakkan itikad baik dalam membangun Indonesia dengan konsep dan praktek demokrasi yang benar dan tepat, malah sebaliknya menerapkan konsep neoliberalisme yang hakikatnya kapitalisme. Akibatnya suara rakyat menjadi tidak didengar sama sekali, pendidikan politik rakyat menjadi tidak penting sama sekali kecuali buat elit-elit politik yang bersarang diberbagai partai politik.
Dampak lebih jauhnya terlihat jelas bahwa kepentingan rakyat untuk keperluan perbaikan hidup tepatnya kesejahteraan tidak sama sekali tercermin dalam aktivitas politik rezim borjuasi, sehingga tidak mengherankan persoalan-persoalan mendasar dari rakyat tidak terjawab sampai sekarang. Kemiskinan terus menyerang, pengangguran terus bertambah akibat PHK sepihak dan masih sempitnya lapangan kerja, kebebasan semakin dititik nadir kematian akibat dari pembungkaman dari cara intimidasi sampai kekerasan, misalkan penembakan petani, pemukulan dan penangkapan buruh, mahasiswa, singkatnya pengamanan modal dengan menutup ruang bagi aktivitas politik gerakan rakyat yang hari ini mulai terlihat.
Sementara situasi politik international menampakkan gejala kemunculan kekuatan ekonomi politik baru atau disebut sebagai emerging market seperti kekuatan asia yang diwakili China dan India. Hal ini menggambarkan bahwa dominasi kekuasaan modal negara maju Amerika dan Eropa (MEE) tendensinya tidak lagi menjadi satu-satunya kekuatan yang mendominasi, ditambah lagi dengan situasi krisis yang masih menggerogoti mereka tentu menjadi material yang tidak bisa begitu saja dilupakan karena dasar produksi dan distribusi mereka adalah kapitalisme yang dalam sejarahnya hingga sekarang tidak henti-hentinya mengalami krisis.
Ditempat yang berbeda Blok Amerika Latin juga patut untuk diteliti sebagai kekuatan lain yang menampakkan segi yang berbeda dengan blok perdagangan kapitalisme. Karena perkembangannya geraknya menunjukkan perlawanan-perlawanan terhadap ekonomi politik neoliberal dengan menerapkan program-program yang berbeda dari resep ala neoliberalisme. Artinya resep-resep the New Economic Order atau Neoliberalisme-kapitalisme yang selama ini ditawarkan tidak lagi menjadi solusi yang mampu menjawab persoalan peradaban ummat manusia.
Sehingga tidak ada situasi politik borjuasi yang menarik dianalisis untuk kepentingan rakyat apalagi dipraktikkan untuk keperluan perbaikan hidup rakyat melainkan hanya sekedar untuk kita memaparkan dengan seterang-terangnya dari kebusukan, kegagalan praktik politik ala Neoliberalisme tidak lebih dari itu kecuali itu bermanfaat bagi mereka sendiri yang tidak tahu malu, tidak punya otak dengan kesadaran yang paling rendah dan hina diantara semua jenis kesadaran yang ada.
Menjadi jelas bahwa tidak mungkin kita menyandarkan, keadilan, kesejahteraan, demokrasi dan budaya yang maju pada tata produksi kapitalisme beserta negara yang menjadi alatnya dengan segala aparatur kenegaraannya karena pada dasarnya sudah terbukti gagal sebagai jalan keluar atas permasalahan-permasalahan umat manusia di dunia. Dan kemerdekaan sejati rakyat hanya akan mampu didapatkan apabila penghisapan manusia atas manusia dilenyapkan, jika tidak demikian maka kemerdekaan hanyalah sebuah seremonial, kata-kata yang abstrak tanpa makna.
Maka Hari kemerdekaan RI yang ke 65 dan Harlah SERIKAT MAHASISWA INDONESIA ke 4 menyatakan sikap tegas bahwa Kapitalismedan Rezim Borjuasi SBY-Boediono telah gagal mensejahterakan rakyat, dan menuntut :
• STOP PHK
• Tolak sistem kerja kontrak & outsourching
• Upah Relatif Nasional
• Tanah, Modal dan Teknologi untuk Petani dan Nelayan
• Stop Penggusuran
• Lapangan pekerjaan yang layak.
• Pendidikan gratis, ilmiah, demokratis & bervisi kerakyatan dari TK-Perguruan Tinggi
• Stop pungli di Dunia Pendidikan
• Batalkan kenaikkan TDL dan turunkan harga barang-barang.

Dengan Jalan keluar :
1. Reforma Agraria Sejati
2. Nasionalisasi asset-asset vital di bawah kontrol rakyat
3. Bangun Industrialisasi nasional yang kuat dan mandiri (industri dasar dan industri berat).
4. Pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan ( TK-Perguruan Tinggi )

Itulah jalan keluar Ilmiah yang mampu membawa rakyat Indonesia Menuju masyarakat yang adil secara sosial, sejahtera secara ekonomi, Demokratis secara politik dan Partisifatif secara Budaya.
Cita-cita dan tatanan masyarakat baru ini, hanya sanggup di wujudkan dengan jalan perjuangan kelas di bawah kepemimpinan kelas buruh dan disokong penuh oleh tani, pemuda, mahasiswa, perempuan, KMK dan kekuatan rakyat lainya.

Jakarta, 16 Agustus 2010

Ketua Umum
Syahrir ‘Acril’ Burhanudin
Sekjen
M. Surya ‘Kadir’ Sukarno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar