Rabu, 15 Desember 2010

Sikap Politik SMI atas 1 Tahun SBY_Budiono

Kapaitalisme dan elit-elit politik Borjuasi adalah sumber kesengsaraan Rakyat

Belum hilang dari ingatan kita terjadinya sebuah krisis global pada tahun 2008 yang menandai kegagalan sistem ini sebagai jawaban dan mau tidak mau berdampak pada perkembangan dalam negeri diberbagai segi. Konsolidasi diberbagai negara (G-20, G-8 dll) terjadi dengan begitu cepatnya tentunya tidaklah lebih hanya untuk bagaimana menyelamatkan modal atau sistem (kapitalisme) yang pada dasarnya memang secara periodik mengalami krisis dengan kata lain sudah usang.
Strategi penyelamatanpun di lahirkan di antaranya; Boilout , peningkatan daya beli masyarakat sampai pada pengetatan anggaran, akan tetapi dari sekian banyak strategi yang dilahirkan dan disebut sebagai era baru tersebut ditumpukan pada negara dan lembaga-lembaga donor international.
Berbarengan dengan banyaknya strategi yang dilahirkan pada waktu yang tidak lama situasi gejolak ekonomi global yang belum tersembuhkan pula disambut kembali dengan krisis eropa yang berawal dari krisis hutang yunani 120% dari PDB dan defisit anggaran sebesar 13,6%. Dan strategi penyelamatan yang diambil pun tidaklah berbeda secara prinsip dengan apa yang diambil sebelumnya.

Tidak bisa dibantah, bahwa akibat krisis global dan krisis diwilayah eropa berdampak pada banyak hal artinya krisis tidak juga bisa dilihat hanya murni bicara soal ekonomi (moneter dan fiskal) akan tetapi juga berkaitan dengan persoalan lainnya. Pada situasi krisis secara bersamaan rezim borjuasi diberbagai negara menghambur-hamburkan uang bagi perusahaan-perusahaan (industri maupun lembaga-lembaga perbankan) atas nama stabilitas ekonomi, pertumbuhan ekonomi, sehingga pemangkasan belanja untuk kebutuhan publik menjadi jalan demi sebuah penyelamatan modal.
Walaupun demikian dari besaran pengeluaran pada kenyataannya negara tidak mampu menghindari pemecatan hubungan kerja (PHK), tidak mampu menaikkan besaran daya beli masyarakat malah sebaliknya. Itulah fakta atau bukti-bukti yang harus diakui secara jujur sebagai akibat dari krisis tata kapitalisme. Dan situasi itu sampai sekarang krisis dan berbagai dampaknya masih terus berlanjut tanpa ada suatu kepastian akan pemulihan ekonomi international, bahkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global lebih rendah dari yang diharapkan.
Sementara di dalam negeri sebagai bagian dari skema neoliberalisme (kapitalisme) terlihat begitu jelas bahwa indonesia di bawah rezim borjuasi tetap menjalankan agenda-agenda neoliberalisme seperti pencabutan subsidi, liberalisasi diberbagai sektor, yang memang hal itu sudah sejak lama disepakati mulai dari Orde baru sampai SBY-Boediono.
Hal ini memang patut untuk kita buktikan. Pada 100 hari pemerintahan rezim borjuasi tentu kita belum lupa dengan berbagai kebijakan-kebijakannya. Program-program yang dihasilkan dari pertemuan nasional summit (rembuk nasional) yang dimotori oleh KADIN pada penghujung tahun 2009, diantaranya; 1) pengadaan tanah, alih fungsi hutan dan tata ruang. 2) Infrastruktur seperti perbaikan infrastruktur transportasi khususnya di pelabuhan besar dan peningkatan kapasitas, 3). Jaminan ketersediaan energi oleh pemerintah dengan menerbitkan perpres tentang proyek percepatan pembangunan proyek pembangkit listrik 10.000 mw tahap II, 4). Keringanan pajak bagi pengadaan energi, 5) Perbaikan skema kerjasama pendanaan pemerintah dan swasta dan Pengadaan lembaga pembiayaan infrastruktur, 5). Masalah ketenagakerjaan. Persoalan ketenaga kerjaan selalu menjadi kendala bagi kelas pemodal untuk berinvestasi seperti; persoalan Upah, Pesangon, outshorsing dan kebebasan berserikat.
Rekomendasi tersebut tentu akan berpengaruh pada petani pada persoalan pembebasan lahan dalam artian pengambilalihan alat produksi petani untuk alasan kepentingan umum, sementara disektor perburuhan rezim borjuasi akan melakukan revisi UU ketenagakerjaan dan itu sudah masuk pada prolegnas (program legislatif nasional), hal ini sudah memberikan kepastian kepada kelas pemodal. Di sektor pendidikan akan semakin terbukanya proses liberalisasi yang ini akan semakin melapangkan terjadinya proses kapitalisasi pendidikan walaupun memang pada akhir tahun 2009 Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan UU BHP tapi itu bukanlah akhir dari ka[pitalisasi pendidikan.
Bukti akan hal itu adalah rezim borjuasi membuat dan menetapkan peraturan baru sebagai pengganti dari UU BHP yang berisi tentang pengesahan atas liberalisasi seperti, BLU (Badan Layanan Umum), bahkan tidak lama ini ketika memasuki tahun ajaran baru 2010-2011 lembaga-lembaga perbankan (capital finance) sudah menawarkan berbagai jasa keuangan seperti, asuransi, kredit, deposito dan lainnya.
Selain itu sektor pendidikan sudah mulai mematangkan dirinya dengan melakukan rekonsialisasi atau penyusaian-penyusaian sesuai keadaan, kebutuhan pasar seperti; kurikulum. Maka akan sangat ironis manakala pendidikan terdistorsi dari hakikatnya yang mulia yaitu memanusiakan manusia, sebagai alat pembebasan-bebas dari segala bentuk kebodohan, bebas dari kemiskinan singkatnya bebas dari penghisapan manusia atas manusia. Itulah yang paling prinsip dari nilai pendidikan.
Dari itu secara jujur secara tidak langsung semua sudah menyatakan hal yang sama (common sense) bahwa mendapatkan pendidikan haruslah mengeluarkan biaya yang banyak (high cost) alias mahal. Begitu juga dengan kualitasnya yang sering dikeluhkan dan juga orientasi atau visinya.
Pada awal tahun 2010 setelah nasional summit politik borjuasi memberlakukan secara sah perdagangan bebas AC-FTA , kebijakan tersebut lahir pada situasi negara masih mengalami gejolak ekonomi akibat didera krisis global dan eropa artinya negara secara sengaja membuka dan menyepakati perdagangan bebas antar negara baik regional maupun international, akan tetapi prinsipnya bukanlah pada siap atau tidak siap persoalan mendasarnya adalah tidak akan memberikan keuntungan dari suatu perdagangan antar negara manakala berjalan pada mekanisme tata produksi dan distribusi yang kapitalistik.
Liberalisasi pun terus berlanjut tanpa hambatan sehingga gerakan rakyat berkewajiban menghambat itu. Pada tahun 2010 rezim borjuasi mengeluarkan kebijakan menaikkan tarif Daya Listrik (TDL) dengan alasan ekonomis-mengalami kerugian padahal itu sama sekali tidak benar hanyalah rekayasa ekonomi politik semata untuk mendapatkan legitimasi dari mayoritas rakyat.
Kenaikkan tarif daya listrik persatu Juli 2010 adalah bagian dari sebuah skenario kelas pemodal untuk selanjutnya menguasai sepenuhnya sektor energi, dengan demikian sektor energi termasuk listrik akan di monopoli/dikuasai oleh swasta-kelas pemodal, maka monopoli negara atas energi listrik akan menjadi hilang, sementara energi adalah menjadi kebutuhan mayoritas rakyat. Tidak hanya itu, kenaikan TDL akan berimplikasi pada bagian ekonomi lainnya seperti kenaikkan harga barang (inflasi), peningkatan biaya produksi, pengurangan karyawan/tenaga kerja dengan jalan PHK sepihak, penurunan upah dsb.
Terlepas dari beberapa dampak yang dilahirkan pada prinsipnya kebijakan rezim menaikkan tarif daya listrik merupakan bagian dari skema liberalisasi disektor energi untuk sepenuh-penuhnya berada di bawah kekuasaan kelas pemodal untuk kesejahteraan pemodal dari akumulasi modal yang terjadi secara terus menerus. Sehingga hal tersebut tidak bisa dilihat ataupun diartikan hanya sebatas ekonomistik belaka tapi lebih dari itu karena mau tidak mau Indonesia salah satu bagian dari negara yang memeiliki/menyimpan kekayaan energi yang sangat penting dan pastinya menuntungkan seperti, minyak, uranium, batu bara dsb.
Ditengah berbagai kebijakan anti rakyat mereka secara bangga mengatakan bahwa itu semua adalah untuk kebaikan rakyat. Kebanggaan itu semakin bertambah ketika mengatakan bahwa makro ekonomi mengalami stabilitas dengan berpegang pada indikator-indikator ekonomi yang dari tahun ketahun terus membaik.
Benar memang sampai hari ini dalam negeri sedang mengalami kebanjiran investasi yaitu banyaknya aliran modal yang masuk baik berjangka pendek maupun berjangka panjang yang mengakibatkan permintaan rupiah meningkat sehingga Rupiah berada pada posisi menguat. Ada beberapa sebab besarnya aliran modal masuk ke dalam negeri pertama; situasi perekonomian global terutama di negara-negara maju masih mengalami situasi krisis, kondisi demikian tentu harus berinvestasi pada tempat yang tepat dengan manajemen resiko yang tepat pula.
Kenyataannya negara berkembang menjadi pilihan yang tepat untuk berinvestasi sehingga sebagian modal mereka di ekspor ke luar negeri. Kedua; penyelamatan krisis global dari hasil konsolidasi ekonomi politik international (G-20, G-8. dll) ditumpukan pada negara-negara dunia ketiga, hal ini terlihat dari beberapa program-program pembangunan jangka pendek, jangka panjang pemerintah seperti; regulasi, program privatisasi, pembangunan infrastruktur, liberalisasi disegala sektor termasuk energi dan sektor keuangan yang memberikan jaminan nantinya modal bisa keluar masuk kapan saja.
Sebagai sekedar contoh; disektor keuangan Indonesia lewat bank sentralnya menatapkan persentase bunga yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara lain sehingga memungkinkan memberikan yield (imbal hasil) yang lebih tinggi, maka tidak mengherankan manakala para investor beramai-ramai menyerbu semisal SBI, SUN.
Selain itu sudut permintaan akan barang dan jasa sangat menjanjikan bagi para investor apabila dilihat dari pangsa pasar yang besar dari segi populasi walaupun sebenarnya tingginya angka populasi itu tidak bisa dikatakan bahwa setiap penawaran itu akan diikuti oleh permintaan itu sendiri. Dasar inilah bagi investor untuk tidak berinvestasi pada sektor real atau yang disebut dengan investasi tidak langsung hanya bermain pada surat-surat berharga.
Setidaknya dua hal umum di atas menjadi sebab yang cukup kuat bagi investor mendapatkan tingkat pengembalian investasi (ROI) yang besar, lalu apa yang didapatkan Indonesia yang berposisi sebagai lahan investasi subur, yang jelas Indonesia mendapatkan pertumbuhan ekonomi semu dari indikator makro ekonomi yang semu pula.
Belum lagi bidang yang lain seperti politik yan tidak demokratis, hukum yang masih diperjualbelikan dan hal-hal lainnya, Maka menjadi patut untuk kita pertanyakan dan kritisi tentang tata ekonomi baru-Neoliberalisme dan era baru pasca krisis yang sering digembar-gemborkan atau itu hanyalah sebuah hiburan bagi ketakutan mereka dari kehancuran dengan segala hak-hak istimewanya.

Jual Beli Politik Elit disituasi Krisis
Tercatat bahwa jual beli politik bisa dikatakan sudah menjadi tradisi terutama sekali pada saat pemilu tapi tidak hanya pada waktu pemilu hampir pada setiap aktivitas politik termasuk juga pada situasi krisis di mana rezim sedang bekerja keras mempertahankan legitimasi kekuasaannya dari sebuah kekacauan yang nantinya bisa mendelegitimasi mereka.
Kehadiran rezim borjuasi sedari awal sudah bisa dipastikan bukan jawaban yang tepat mencapai kesejahteraan, keadilan hanya akan menuai kegagalan dan kegagalan terus menerus. Sesungguhnya politik merupakan cerminan dari bangunan bawahnya-ketika kapitalisme masih berkuasa sebagai bangunan bawah maka politik sebagai bangunan atas akan mengikutinya.
Tata produksi dan distribusi kapitalistik sampai saat ini tetap melahirkan rezim borjuasi seperti SBY-Boediono hakikatnya pelayan setia tuan modalnya. Tapi memang skema kerja mereka tidak sesederhana seperti kita mengatakan ketika lapar harus makan, ketika haus harus minum, artinya skema kerja mereka terencana, sistematis sampai harus berpikir keras untuk menganalisanya.
Situasi obyektif di mana rezim borjuasi SBY-Boediono mengeluarkan kebijakan anti rakyat dan beberapa persoalan lain seperti korupsi, mengakibatkan munculnya para elit politik untuk bermain, memunculkan diri seolah-olah pro rakyat dengan terlibat melakukan kritikan terhadap berbagai kebijakan rezim.
Ditengah perjuangan rakyat melawan kapitalisme dan rezim borjuasi elit-elit politik yang ada di masing-masing partai politik secara bersama-sama melakukan konsolidasi dan kritikan keras bahkan hujatan pada pemerintah bahwa rakyat harus diperhatikan, mereka juga berkata bahwa negara ini harus berubah sehingga harus membutuhkan pemimpin yang kuat, tegas, pintar dan pro rakyat.
Pandangan tersebut tanpa ragu dikeluarkan secara terbuka dengan maksud menarik simpati rakyat. Fenomena ini bukanlah hal baru tapi hal seperti ini sudah sering kali terjadi, mereka (elit politik borjuasi) sudah sangat sering memanfaatkan penderitaan, kemiskinan rakyat sebut saja PDI-P, PAN, GOLKAR, HANURA, PKS, GERINDRA dll.
Partai politik borjuasi tersebut mengklaim diri oposisi sejati, pejuang rakyat, pelindung rakyat dan kata-kata gombal lainnya tidak berbeda dari seorang sales produk yang sering kali melakukan kebohongan publik yang penting laris terjual dengan keuntungan yang menjanjikan. Mereka menjual rakyat atas nama rakyat, padahal tujuan mereka tidak lain hanyalah untuk mendapatkan kue kekuasaan dengan hitungan untung-rugi yang sudah jelas ketika mereka sudah mendapakan itu.
Lihat saja beberapa kasus sampai 1 tahun SBY-Boediono, kasus century, kasus markus, kasus korupsi pejabat, kasus industrial, kasus agraria dsb. Sesungguhnya berakhir dengan kompromis (deal or not deal) di antara mereka sendiri para elit politik borjuasi dengan kompensasi kekuasaan dan suapan. Sungguh konflik mereka hanyalah sebuah rekayasa politik belaka dan sikap oposisi mereka hanyalah sebuah topeng menyembuyikan kebusukan yang baunya melebihi bangkai binatang yang sudah membusuk.
Karena sesungguhnya mereka menjadi bagian dari praktik sebagaimana yang dilakukan oleh rezim yang sedang berkuasa saat ini yang tersebar di berbagai lembaga kenegaraan baik legislatif, ekskutif dan yudikatif, maka sudah jelas posisi dan karakteristik mereka adalah selalu mendukung dan melayani tuan modalnya.
Dari penderitaan rakyat, berbagai kasus hanyalah barang dagangan saja untuk ditawarkan dan manakala cocok rezim akan membelinya layaknya transaksi dagang seorang pedagang sayur tinggal bagaimana barangnya dikemas sedemikian rupa sehingga menarik untuk dipasarkan.
Memang satu sisi para elit politik borjuasi bekerja cukup sistematis kalau dilihat dari struktur kerja partai yang dibentuk secara nasional sampai tingkatan struktur paling rendah, dengan memanfaatkan kesadaran politik massa yang masih terbelakang secara politik karenma memang partai-partai borjuasi tidak pernah melakukan pendidikan politik pada rakyat.
Selain itu semua partai melakukan perangkulan atau rekrutmen terhadap para aktivitis-aktivitas yang sudah memiliki pengalaman aktivitas politik khususnya digerakan mahasiswa. Inilah yang disebut sebagai broker-broker politik. Posisi mereka cukup jelas yaitu sebagai agen-agen elit politik borjuasi untuk meredam kesadaran massa dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Sebuah pilihan pragmatis-opportunis dari tawaran kenyamanan-kenyamanan individual dengan menjual dan menggadaikan prinsip perjuangan mereka.
Yang cukup menarik dari cara bekerja mereka adalah mencoba secara terus menerus membangun organisasi tak peduli bentuk dan isinya seperti apa yang jelas organisasi yang mereka buat bertujuan untuk memobilisasi massa sebagaimana keinginan tuan mereka para elit politik borjuasi dan para pengusaha seperti APINDO. Dan hari inipun menjelang satu tahun rezim borjuasi SBY-Boediono berkembang cukup masif terjadi dan menariknya lagi mereka mencoba membangun aliansi multisektor.
Perjuangan sungguh-sungguh gerakan rakyat coba akan di nodai oleh partai borjuasi dan para pekerja mereka dengan menawarkan solusi-solusi yang sama sekali tidak berbeda ketika berkampaye menjelang pemilu seperti kampaye ekonomi kerakyatan ala GERINDRA, ala PDI-P dan ala tokoh-tokoh intelektual borjuasi.
Atas semua itu gerakan rakyat harus berhati-hati dengan tipu muslihat mereka apalagi hari menjelang satu tahun rezim borjuasi sudah satu pandangan bahwa pemerintah SBY-Boediono, legislatif telah gagal mensejahterakan rakyat. Mereka sedang memanfaatkan kekacoan situasi ekonomi politik nasional untuk mendapatkan simpati dan legitimasi dari rakyat.

Arahan Politik SMI Nasional atas satu tahun Rezim Borjuasi
Dari segala bukti-bukti yang ada Serikat Mahasiswa Indonesia selalu bersikap tegas bahwa Kapitalisme, semua elit politik borjuasi adalah sumber penderitaan Rakyat Indonesia. Dan tugas mendesak kita menjelang satu tahun SBY-Boediono adalah :
1. Memberikan pendidikan politik idiologis pada massa anggota dan massa luas dengan berbagai tindakan-tindakan organisasi.
2. Membangun persatuan dengan secara aktif menggerakkan struktur politik organisasi dari tingkatan kampus, kota dan nasional. Sehingga kekuatan politik organisasi terlihat secara jelas untuk mengimbangi hegemoni politik borjuasi.
3. Mengampayekan secara terus menerus jalan keluar kita semua :
a. Pendidikan Nasional Gratis (SD-PT), Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerakyatan.
b. Pembangunan Industri Nasional (Industri dasar, Industri Berat) yang berkarakter Kerakyatan.
c. Laksanakan Reforma Agraria Sejati.
d. Nasionalisasi Aset Vital di bawah control rakyat dan untuk Kesehjateraan Rakyat.

Jakarta, Oktober 2010

Ttd

KPP-SMI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar