Salam Pembebasan !
Universitas sebagai sebuah lembaga pencetak calon-calon intelektual muda di Indonesia, tentu seharusnya dapat menerapkan sebuah kultur demokrasi di dalam kampus. Namun dalam kenyataannya, hal ini tidak terjadi di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Di Universitas Airlangga terjadi pencekalan terhadap Ratusan mahasiswa Unair dari berbagai fakultas; seperti Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik dan Fakultas Sains dan Teknologi. Para mahasiswa tersebut di larang registrasi dan melanjutkan studi.
I. Evaluasi Studi bukanlah dasar untuk me-Do Mahasiswa
Dasar yang di gunakan oleh pejabat Unair untuk mencekal para mahasiswa ini adalah hasil evaluasi studi. Dalam hal ini, terkait dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan jumlah Sistem Kredit Semester (SKS) yang di peroleh para mahasiswa. Menurut versi pejabat kampus, untuk mahasiswa D3 (evaluasi terhadap mahasiswa tiap 1 tahun sekali) di larang melanjutkan studi karena IPKnya di bawah 2.00 dan SKSnya dibawah 20. Sedangkan untuk mahasiswa S1
(evaluasinya tiap 2 tahun sekali), dilarang melanjutkan studi karena IPKnya tidak mencapai 2.00 serta jumlah SKSnya kurang dari 40.
Namun demikian, terkait dengan standar evaluasi ini, ternyata kemudian menimbulkan banyak kerancuan dan kebingungan bagi mahasiswa. Kebijakan tersebut tiap fakultas tidaklah sama dan sosialisasi sistem evaluasi ini pada mahasiswa sangat minim. Kebijakan ini juga diberlakukan secara kaku, tanpa pernah mempertimbangkan faktor-faktor yang menyebabkan anjloknya nilai peserta didik. Karena dalam kenyataannya, beberapa mahasiswa yang nilainya anjlok tersebut, sebagian karena ada yang faktor kerja, keluarga dan ada pula sentiment dari dosen yang mengajarnya sehingga nilainya di buat hancur. Sehingga standart evaluasi ini tidak bisa di jadikan alat ukur utama kualitas dari mahasiswa.
Selain itu pula, ada sebuah distorsi makna terhadap konsep evaluasi ini sendiri. Konsep Evaluasi yang secara subtansi sesungguhnya dijadikan tolak ukur untuk menilai tingkat keberhasilan dari sebuah kurikulum pendidikan, pada prakteknya kemudian dijadikan legitimasi untuk me-DO mahasiswa. Artinya, birokrasi Unair menganggap sah-sah saja untuk “mengusir” para mahasiswa yang menurut pandangan mereka bodoh dan menjadi aib bagi kampus ini, tanpa pernah mempertimbangkan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan nilai studi mahasiswa.
Terkait kebijakan ini pun, sesungguhnya sangat aneh dan kontradiktif. Di satu sisi, SK DO dari Rektor sampai sekarang pun masih belum diterima oleh korban, namun kenyataannya para korban tetap tidak di perbolehkan untuk registrasi. Ketika hal itu di tanyakan para korban kepada pihak fakultas dan Universitas, mereka tidak mendapat jawaban yang memuaskan dan kedua belah pihak terkesan saling lempar tanggung jawab.
II. DO merupakan salah satu bentuk hancurnya demokratisasi di Universitas Airlangga
Kebijakan DO ratusan mahasiswa tersebut adalah salah satu bentuk dari arogansi pihak birokrasi Unair. Mengapa kami katakan hal itu arogansi dari birokrasi kampus?? Oleh karena dari fakta-fakta yang ada di lapangan, secara umum peran mahasiswa dalam kehidupan kampus sangat minim dan di batasi. Demokratisasi di kampus Unair hanya sekedar omong kosong belaka, tidak pernah terbukti dalam kenyataan. Mahasiswa hanya menjadi robot-robot yang tuntut mematuhi segala peraturan kampus, walaupun sebagian mahasiswa sendiri tidak pernah di libatkan secara aktif dalam pembuatan kebijakan kampus.
Sebagai contohnya, kampus akan sangat keras terhadap para mahasiswa yang telat membayar atau nilainnya turun, namun tidak ada sanksi tegas terhadap para dosen yang dalam beberapa kasus mangkir dalam menjalankan kewajibannya untuk mengajar. Belum lagi kalau kita melihat betapa tragisnya pelayanan kampus terhadap para mahasiswa. Ketika mahasiswa Unair di tarik biaya yang sangat tinggi hingga jutaan puluhan hingga ratusan juta rupiah, ternyata kemudian tanpa di imbangi pelayanan dan fasilitas yang memadai dari kampus. Mahasiswa selalu di posisikan sebagai unsur lain dalam kampus, yang suaranya jarang di dengar dan tidak di beri ruang yang memadai untuk menyampaikan aspirasi dan keluhannya.
III. DO adalah salah satu bentuk cuci tangannya Universitas terhadap kegagalan sistem BHMN.
Jauh-jauh hari sebelum kebijakan BHMN ini di terapkan beberapa kampus negeri di Indonesia (salah satunya adalah Unair), banyak kalangan mulai dari pakar pendidikan sampai kalangan gerakan dengan keras menolaknya. Menurut mereka kebijakan BHMN akan membawa dampak buruk terhadap dunia pendidikan, yang mana akan selalu di ikuti dengan kenaikan biaya kuliah, pemadatan kurikulum, kebijakan DO dan berbagai dampak buruk lainnya.
Terkait dengan persoalan DO sendiri merupakan salah satu dampak dari pemadatan kurikulum, pasca pemberlakuan kebiajakan BHMN di Unair. Dalam hal ini, kebutuhan Unair untuk meningkatkan akreditasi Universitas, di jawab dengan cara “membersihkan” orang-orang yang menurut mereka bodoh dan malas. Dalam hal ini, pembersihan ini dilakukan dengan cara sangat keji, dengan memaksa para mahasiswa tersebut untuk mengundurkan diri.
Maka dari itu, kami dari Serikat Kedaulatan Mahasiswa untuk Rakyat (SKMR) menyatakan sikap :
1. Mengecam keras kebijakan DO sepihak yang dilakukan oleh pihak universitas Airlangga.
2. Universitas Airlangga harus segera membatalkan pencekalan terhadap para korban dan memperbolehkan para korban untuk melakukan registrasi.
3. Pihak kampus harus menjamin dan melindungi seluruh hak-hak mahasiswa dan mewujudkan demokratisasi di dalam kampus.
4. Departemen Pendidikan Nasional harus mengusut praktek kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pejabat kampus Universitas Airlangga.
5.Mendukung penuh perjuangan kawan-kawan Forum Advokasi Mahasiswa (FAM) Unair untuk membatalkan kebijakan DO.
6. Menyerukan kepada seluruh elemen pro demokrasi untuk segera bersatu dan membentuk perlawanan terhadap kapitalisasi dunia pendidikan.
Surabaya, 21 Agustus 2010
Ketua Umum
Fikri Ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar