Minggu, 12 Februari 2012

Sistem Produksi Sistem Fordisme dan Post- Fordisme

Apa itu Sistem Fordisme?
Fordisme adalah sistem produksi yang berkembang pasca perang dunia kedua. Fordisme karena itu sering juga dikenali sebagai sistem produksi pasca-perang. Sistem diperkenalkan oleh seorang ekonom AS bernama J.M. Keynes. Sistem ini diperkenalkan paling tidak atas dua alasan: sebagai respon atas ancaman kebangkrutan sistem kapitalisme, yang ditandai dengan terjadinya perang dunia, dan; ancaman kebangkitan ideology komunisme.

Ada empat hal yang menjadi ciri khas sistem Fordisme, yaitu:
1. Bersifat produksi massal atas barang-barang konsumen yang bersifat tahan lama. Teknik yang digunakan dalam produksi ini adalah dengan membuat barisan massif pekerja semi-skill.
2. Pertumbuhan ekonomi yang stabil secara makroekonomi dalam sebuah perekonomian yang relatif tertutup.
3. Pemisahan kepemilikan dan kontrol dalam korporasi-korporasi besar, monopoli atas harga, mengakui keberadaan serikat (buruh) dan keterlibatan negara dalam menangani konflik antara modal dan buruh.
4. Pola sosial organisasi dimana konsumsi komoditi massal ada dalam rumah tangga keluarga inti. Artinya masyarakat Fordis adalah sebuah masyarakat industrial-perkotaan, “massa menengah”, masyarakat yang pendapatan-(berdasarkan)gaji.


Jika kita kaji lebih jauh, dalam sistem Fordisme peran negara sangatlah dominan. Hal ini tak lain sebagai reaksi atas kegagalan model doktrin liberalisme ekonomi ala laissez faire yang mendominasi perekonomian dunia hingga pecahnya perang dunia. Fordisme menekankan peran penting negara sebagai alat pengontrol keganasan pasar. Salah satu hal penting yang bisa kita lihat sebagai ciri khas Fordisme adalah dalam urusan perburuhan dimana negara turut campur dalam mengatur aspek-aspek mendasar seperti: sistem pengupahan, kebijakan pasar tenaga kerja dan memberikan bimbingan dalam aggregat permintaan, yang pada akhirnya membantu terjadinya keseimbangan antara permintaan dan penawaran.

Secara makroekonomi negara Fordisme berperan untuk menjaga agar tidak terjadi fluktuasi ekonomi yang tajam dan memastikan agar terjadinya pertumbuhan ekonomi yang stabil. Pemerintah juga memperkenankan perusahaan-perusahaan Fordist untuk mengamankan pertumbuhan return to scale mereka.

Untuk memastikan pertumbuhan yang stabil tersebut negara memberikan subsidi terhadap infrastuktur perekomian misalnya, pembangunan jalan-jalan atau penyediaan sistem pendidikan yang menunjang keberadaan industri. Negara juga mendorong agar terjadi konsumsi massal melalui proyek-proyek yang menunjang hal ini seperti perumahan, atau kebijakan-kebijakan dalam transportasi (perhubungan).
Seperti doktrin Keynesian negara Fordis memungkinkan terhubungkannya kepentingan modal yang terorganisir dengan buruh dalam sebuah program padat tenaga kerja dan jaminan sosial. Berbagai kebijakan mengenai kesejahteraan pada 1960an atau 1970an dipengaruhi oleh sistem fordis, yaitu tampil dengan komodifikasi, urbanisasi dan birokratismenya. Karena itu pula sistem Fordis ini sangat identik dengan negara kesejahteraan.

Lalu apa itu sistem produksi post-fordisme?

Sistem produksi fordisme yang pada awalnya dianggap berhasil menyelamatkan sistem kapitalisme dari kehancuran secara perlahan mengalami krisis. Pada era 1970an pertumbuhan perekonomian dunia mengalami kejenuhan yang luar biasa sehingga diperlukan sebuah solusi yang radikal untuk memecah kebuntuan ini. Salah satu yang dianggap menjadi biang penyebab kebuntuan dalam perekonomian ini adalah peran negara yang terlalu tinggi dalam mengatur pasar. Sistem perekonomian fordisme dianggap terlalu kaku dan tidak memacu terjadinya akumulasi. Pada akhir 1970an dan di awal 1980-an secara perlahan dominasi sistem produksi fordisme ini memudar digantikan sistem produksi yang dikenal sebagai post-fordist.

Bagaimana membedakan sistem post-fordisme ini dengan fordisme? Kuncinya terletak pada kata “Fleksibel” ([ke]lentur[an]). Jika kita lihat dalam sebuah proses kerja post-fordisme dapat didefenisikan sebagai sebuah sebuah produksi harga-harga (yang) lentur yang didasarkan pada sistem yang fleksibel dan pola akumulasi yang inovatif secara permanen.

Jessop (1996) melihat ada tiga hal fundamental yang mendorong perubahan sistem fordisme ke post-fordisme, yaitu: faktor teknologi, internasionalisasi, dan perubahan paradigma dalam melihat peran negara dan pasar.


Inovasi dalam teknologi adalah faktor utama yang memungkinkan sistem baru ini bisa berlaku. Sistem post-fordis secara fundamental berdasar atas produksi yang lentur, pertambahan pendapat untuk setiap buruh yang mampu mengerjakan banyak hal sekaligus (polyvalent) dan meningkatkannya keuntungan disebabkan faktor teknologi dan inovasi-inovasi lainnya. Perubahan teknologi ini sangat signifikan terutama dalam hal informasi yang memungkinkan terjadinya transaksi-transaksi yang cepat secara global.

Munculnya negara-negara industrialisasi baru (NIC’s) memaksa negara-negara industrialiasasi lama (Eropa Barat dan AS) untuk mendorong terjadinya spesialisasi pada jenis teknologi inti baru. Negara dalam hal ini memiliki kepentingan untuk mendorong pengembangan secara teknologi sebanyak mungkin perusahaan untuk mendapatkan untung dari hal itu. Negara juga harus memindahkan sokongan industri menjauh dari sektor-sektor yang meorosot pada sektor-sektor baru.


Hal kedua adalah Internasionalisasi. Internasionalisasi menekankan pada gaji sebagai biaya produksi daripada sebagai sumber permintaan dalam negri (home-demand). Karena itulah semua negara harus menjadi lebih terlibat dalam menangani proses internasionalisasi. Mereka harus mengamankan keuntungan maximal pada perusahaan-perusahaan atau bak-bank trans-nasional milik mereka (home-based tnc’s/bank’s). Lebih jauh Jessop melihat bahwa orientasi post-fordis juga berubah menjadi berorientasi pada permintaan dunia luas, tidak lagi terbatas pada permintaan di dalam sebuah negara.

Hal lain yang berubah secara fundamental adalah dalam post-fordis lebih ditentukan oleh dorongan-permintaan (demand-driven) daripada dorongan-penawaran (supply-driven). Kompetisi akan lebih banyak berkutat di faktor-faktor non-harga seperti perbaikan kualitas dan tampilan untuk sebuah produk individual dan sangat responsive pada konsumen. Sistem keuangan akan didominasi oleh swasta, kredit bank tak berakar yang beredar secara internasional.

Akhirnya, faktor perubahan paradigma baru post-fordisme menekankan bahwa perlu untuk mendefenisikan ulang fungsi ekonomi negara. Negara dalam post-Fordis difokuskan sebagai penyokong-samping (surplus-side) persoalan kompetisi internasional dan berusaha untuk menyubordinasikan kebijakan kesejahteraan menjadi flebilitas atas permintaan-permintaan (demands of flexibility)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar