Versi 8 Desember 2010
Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Tentang
Perguruan Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional Dewan Pendidikan Tinggi
Desember 2010
Versi 8 Desember 2010
Pengantar
Bab VI Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) mengatur mengenai Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan. Bagian Keempat Bab VI tersebut yang diberi judul Pendidikan Tinggi terdiri atas 7 pasal yaitu Pasal 19 sampai dengan Pasal 25. Pada Pasal 20 ayat (4), Pasal 21 ayat (7), Pasal 24 ayat (4), dan Pasal 25 ayat (3) dinyatakan bahwa hal-hal yang diatur di dalam pasal-pasal tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Hal-hal yang dimaksud antara lain mengenai jenjang dan program pendidikan (diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor), bentuk perguruan tinggi (akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas), kewajiban melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, program (akademik, profesi, dan/atau vokasi), gelar, guru besar, kebebasan akademik, kebebasan mimbar, otonomi keilmuan, dan plagiat. Untuk memenuhi perintah Pasal 20 ayat (4), Pasal 21 ayat (7), Pasal 24 ayat (4), dan Pasal 25 ayat (3) UU Sisdiknas, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan (PP No.17 Tahun 2010). Dari uraian di atas, tampak bahwa hal-hal mengenai pendidikan tinggi sesuai dengan perintah UU Sisdiknas telah diatur di dalam PP No.17 Tahun 2010, sehingga penyusunan rancangan undangundang
tentang
pendidikan
tinggi
selain
akan
menyebabkan
pengaturan
pendidikan
tinggi
yang
tidak
sesuai
perintah UU Sisdiknas, juga akan menimbulkan pengaturan pendidikan tinggi yang tumpang tindih. Sedangkan hal yang belum diatur di dalam UU Sisdiknas dan/atau PP No.17 Tahun 2010 yaitu mengenai tata kelola perguruan tinggi, justru membutuhkan pengaturan di dalam sebuah undangundang.
Semula
tata
kelola
perguruan
tinggi ini telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Namun ternyata UU BHP tersebut telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010. Untuk mengisi kekosongan pengaturan tata kelola perguruan tinggi tersebut Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan (PP No. 66 Tahun 2010). PP No. 66 Tahun 2010 tersebut tentu tidak dimaksudkan untuk memenuhi perintah Pasal 53 UU Sisdiknas yang menghendaki agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan, walaupun menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 badan hukum pendidikan ini harus dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan. Untuk pendidikan tinggi, fungsi penyelenggara pendidikan di dalam pemaknaan baru menurut Putusan Mahkamah Konstitusi tentu dilaksanakan oleh perguruan tinggi. Oleh karena itu, rancangan undang-undang yang perlu disusun berdasarkan perintah Pasal 53 UU Sisdiknas adalah Rancangan Undang-Undang Tentang Perguruan Tinggi.
Halaman| 1
Versi 8 Desember 2010
Merujuk pada uraian di atas, naskah akademik ini diberi judul Naskah Akademik Rancangan UndangUndang
Tentang
Perguruan
Tinggi.
Naskah
akademik
ini
bertujuan
untuk
mempertanggungjawabkan
secara
ilmiah
mengenai
konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan substansi Rancangan UndangUndang
Tentang
Perguruan
Tinggi.
Penyusunannya
didasarkan
pada
Peraturan
Menteri
Hukum
Dan
Hak
Asasi Manusia Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-Undangan. Semoga naskah akademik ini mampu memberikan penjelasan yang paripurna tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Perguruan Tinggi sebagaimana dilampirkan pada naskah akademik ini. Jakarta, Desember 2010
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh
Halaman| 2
Versi 8 Desember 2010
Daftar Isi
Pengantar ................................................................................................................................................ 1 Daftar Isi .................................................................................................................................................. 3 Bab I ........................................................................................................................................................ 5 Pendahuluan ........................................................................................................................................... 5
1. Latar Belakang ............................................................................................................................. 5 1.1. Landasan Filosofis ............................................................................................................... 5 1.2. Landasan Yuridis ................................................................................................................. 6 1.3. Landasan Sosiologis............................................................................................................. 8
2. Identifikasi Masalah .................................................................................................................... 9 3. Tujuan dan Kegunaan ............................................................................................................... 11 4. Metode Penelitian .................................................................................................................... 11
Bab II ..................................................................................................................................................... 14 Asas, Prinsip, Tujuan, dan Pernyataan Kebijakan Dalam Penyusunan RUU Perguruan Tinggi ............. 14
1. Asas RUU Perguruan Tinggi ....................................................................................................... 14 2. Prinsip RUU Perguruan Tingi ..................................................................................................... 15 3. Tujuan RUU Perguruan Tinggi ................................................................................................... 16 4. Pernyataan Kebijakan (policy statement) RUU Perguruan Tinggi ............................................. 16
Bab III .................................................................................................................................................... 19 Materi muatan RUU Perguruan Tinggi dan Hubungan Dengan Peraturan Perundang-Undangan
Terkait ................................................................................................................................................... 19 1. Analisis Hubungan Materi Muatan RUU Perguruan Tinggi Dengan Peraturan Perundang-
Undangan Terkait .............................................................................................................................. 19 2. Materi Muatan RUU Perguruan Tinggi ..................................................................................... 20
Bab IV .................................................................................................................................................... 33 Penutup ................................................................................................................................................. 33 Lampiran: .............................................................................................................................................. 34
Konsep Awal Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi ........................................................... 34
Halaman| 3
Versi 8 Desember 2010
Halaman| 4
Versi 8 Desember 2010
1. Latar Belakang
Bab I Pendahuluan
1.1. Landasan Filosofis Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah mengamanatkan bahwa tujuan utama Pendidikan Nasional bukanlah semata-mata mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan lebih dari itu tujuan utama pendidikan adalah mentransfer nilai-nilai luhur bangsa, menanamkan semangat kebangsaan, menanamkan identitas bangsa, dan melestarikan serta mengembangkan budaya bangsa. Pandangan mulia seperti itu dianut oleh semua Negara di dunia. Pendidikan selalu dipandang sebagai salah satu tugas utama pemerintahan suatu Negara selain kesehatan, pelayanan publik, dan penciptaan kesejahteraan umum. Sikap universal tentang pendidikan tersebut diterima sepenuhnya oleh bangsa Indonesia.
Dalam Alinea Kedua Pembukaan UUD 1945 dicantumkan tugas konstitusional Pemerintah Negara Republik Indonesia adalah “ … melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial … ”. UUD 1945 pada esensinya menyatakan bahwa pendidikan nasional bukan bidang usaha jasa untuk menghasilkan tenaga kerja terdidik, yang satu kategori dengan industri pertambangan, perdagangan dan jasa perbankan dan keuangan serta jasa-jasa lainnya. Lebih daripada itu, seperti diingatkan oleh van Ginkel, mantan Rektor Universitas PBB, pendidikan nasional adalah upaya suatu bangsa untuk preserves national identity, transfers norms and values, sustains and develop the intellectual and cultural base of the society, gives inspiration and pride to citizens, dan promotes dialogue for the respect of cultural and social diversity
1
.
Kalau disepakati bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk menguasai pengetahuan dan teknologi dan sekaligus untuk menyemaikan nilai-nilai kebangsaan, cinta tanah air, serta nilai-nilai universal maupun nasional, Pemerintah harus berani bersikap dan menetapkan:
a. pendidikan bukan bidang usaha melainkan upaya sosial, politik dan kultural untuk mencerdaskan kehidupan bangsa;
b. pendidikan dasar dan menengah adalah layanan yang merupakan kewajiban Pemerintah dan bukan bidang usaha yang perlu diliberalisasi; dan
c. usaha meningkatkan mutu pendidikan tinggi harus dilakukan dalam kerangka internasionalisasi akses kepada pendidikan tinggi bermutu, melalui kerjasama sosiokultural
yang dilandasi sikap nasionalisme yang kuat, dilakukan secara bertahap dan dengan memperhitungkan kesiapan nasional untuk mengembangkan hubungan yang simetris dengan lembaga pendidikan tinggi negara lain.
Tanpa nasionalisme dan kesiapan nasional sebagaimana dimaksud di atas, sektor pendidikan akan kembali menjadi korban dari hubungan asimetris atau persaingan yang tidak seimbang
1
“Perlu Reposisi Pendidikan Nasional”, Sofian Effendi, disampaikan pada Diskusi Forum Mangunwijaya III dengan Tema ”Reposisi Peran Negara dan Warga, Bagaimana Peran Pendidikan?” Yogyakarta, 24 Mei 2008
Halaman| 5
Versi 8 Desember 2010
antara penyelenggara pendidikan lokal dengan para penyedia layanan pendidikan dari luar negeri. Hal ini selalu diingatkan oleh Stiglitz
2
bahwa bagi bangsa yang lemah dan belum siap liberalisasi pendidikan adalah sama dengan neo-kolonialisme. Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, globalisasi dan perekonomian yang mengedepankan ekonomi berbasis pengetahuan, maka dapat dirasakan bahwa pendidikan tinggi semakin dibutuhkan dalam pertumbuhan dan pengembangan masyarakat suatu negara, termasuk Indonesia.
Perguruan tinggi yang menjalankan proses pendidikan tinggi merupakan salah satu sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan pengembangan bangsa dan pada dimensi yang sama seiring dengan berkembangnya globalisasi, setiap negara dituntut untuk semakin kompetitif dalam pasar dunia dan dapat memertahankan pertumbuhan ekonominya. Peran pendidikan tinggi menjadi kunci bagi kemajuan bangsa melalui lulusannya yang berkarakter, cerdas, dan terampil memajukan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Perguruan tinggi perlu didorong untuk menjalankan peran kunci tersebut sehingga dapat secara optimal merespon perubahan dengan cepat dan dapat menggunakan sumberdayanya secara efisien dan efektif.
Kemandirian Perguruan tinggi menjadi salah satu prasyarat utama agar peran yang diharapkan dapat dijalankan dengan baik dan dapat menunjukkan akuntabilitas yang baik pula yang dapat diterima oleh masyarakat luas sesuai dengan perannya. Selain itu, seperti diingatkan oleh Moises Naim
3
dalam bukunya berjudul Illicit, selain hasil positif, globalisasi membawa bersamanya illicit trade. Sejalan dengan itu, perlu diketahui bahwa liberalisasi pendidikan akan membawa pula illicit education trade seperti penjualan gelar dan ijazah, pendirian sekolah oleh kelompok politik-teologi yang mengajarkan nilai-nilai nondemokratis,
pembajakan Hak Kepemilikan Intelektual, serta kegiatan-kegiatan negatif lain dalam bidang pendidikan.
Selain itu, harus diingat pula konsekuensi finansial dari liberalisasi pendidikan sebagaimana dikehendaki oleh World Trade Organization (WTO). Sesuai ketentuan WTO tentang national treatment and transparency of national policies, yang tidak boleh membedakan antara national and international provider, subsidi yang diberikan oleh Pemerintah untuk setiap peserta didik harus diberikan juga kepada penyelenggara dan satuan pendidikan luar negeri yang menyelenggarakan pendidikan di Indonesia. Hal ini tentu perlu mendapatkan perhatian secara seksama agar tidak merugikan kepentingan peserta didik Indonesia yang justru harus menjadi perhatian utama.
1.2. Landasan Yuridis Penjelasan Umum UU Sisdiknas menyatakan bahwa Visi Pendidikan Nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sistem pendidikan nasional yang dijalankan perlu memiliki landasan pengelolaan yang kuat untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
2
3
“Escaping The Resource Curse”, M. Humphreys, J.D. Sachs, J.E. Stiglitz, Columbia University Press, New York, 2007
“Illicit: how smugglers, traffickers, and copycats are hijacking the global economy ”, Moises Naim, Doubleday, Random House Inc., New York, 2005
Halaman| 6
Versi 8 Desember 2010
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Potensi peserta didik perlu diperhatikan dan dikembangkan lebih jauh sehingga peserta didik dapat menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat merupakan salah satu wujud peran serta berbagai komponen masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Pasal 19 UU Sisdiknas menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah dan diselenggarakan dengan sistem terbuka. Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, pengelolaan perguruan tinggi perlu mendapatkan perhatian secara terus menerus sehingga sistem pengelolaan perguruan tinggi baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat mampu mewujudkan Visi Pendidikan Nasional. Untuk itu Negara bertanggungjawab atas pengaturan pengelolaan perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan warganegara dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini sejalan dengan amanat salah satu Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Amar Putusan yang dimaksud menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (2) UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai bahwa setiap warga negara ikut bertanggungjawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Putusan ini menyiratkan bahwa sesungguhnya yang bertanggungjawab atas keberlangsungan penyelenggaraan Pendidikan Nasional adalah Negara. Selanjutnya, Pasal 24 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, Pasal 50 ayat (6) UU Sisdiknas menyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Sedangkan pengertian otonomi perguruan tinggi menurut Penjelasan Pasal 50 ayat (6) UU Sisdiknas adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya. Kedua Pasal tersebut merupakan dasar hukum yang kuat bagi kemandirian perguruan tinggi dalam menjalankan perannya secara optimal untuk merespon perubahan cepat dalam globalisasi, sehingga daya saing bangsa dan negara yang diperlukan, dapat terus ditingkatkan melalui pendidikan tinggi. Pengaturan lebih lanjut tentang kemandirian perguruan tinggi ini perlu dituangkan dalam undang-undang yang dapat mewadahi kemandirian yang diperlukan oleh perguruan tinggi dalam menjalankan perannya, dan yang dapat diterima oleh masyarakat luas sebagai bagian dari akuntabilitas perguruan tinggi. Selain aspek kemandirian, Pasal 24 ayat (3) UU Sisdiknas juga menyatakan bahwa perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.
Halaman| 7
Versi 8 Desember 2010
Khusus perwujudan otonomi perguruan tinggi sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 53 UU Sisdiknas semula harus dipenuhi melalui pengubahan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan menjadi badan hukum pendidikan. Namun ketentuan tersebut telah diubah maknanya oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa badan hukum pendidikan harus dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan. Untuk pendidikan tinggi, fungsi penyelenggara pendidikan di dalam pemaknaan baru menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dilaksanakan oleh perguruan tinggi.
1.3. Landasan Sosiologis UU Sisdiknas menyatakan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab sesuai dengan tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas adalah warga negara yang di samping memahami hak azasi manusia (HAM) dan hak-hak individual, juga mempunyai kesadaran yang tinggi akan kesamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Penguatan hak-hak individual di samping merupakan prinsip dasar kemanusiaan, juga disadari akan dapat membuat masyarakat lebih terbuka (open society) dan membentuk kehidupan yang lebih sehat, lebih kreatif dan inovatif.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini sedang terjadi pergeseran interaksi sosial dari masyarakat kolektif menjadi masyarakat individualistik dengan hak-hak yang lebih luas. Tantangan yang dihadapi masyarakat pluralistik Indonesia dengan kebiasaan dan tradisi yang beragam, dan norma yang dikawal oleh lingkungannya masing-masing adalah mempercepat pembangunan hukum, peraturan, dan sistem sosial baru, dengan kesadaran tinggi dari masing-masing individu untuk bersikap disiplin, menghargai pendapat orang lain, dan menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
Salah satu tujuan utama kehidupan berbangsa dan bernegara dalam UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kesadaran akan hak-hak individual warga negara yang lebih tinggi, pada saat ini terdapat tuntutan kepada pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pelayanan kepada masyarakat, termasuk dalam bidang pendidikan dan pendidikan tinggi, demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Tuntutan yang tinggi juga dirasakan untuk meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Interaksi yang semakin intensif, kompetisi, dan kolaborasi dengan masyarakat internasional semakin dituntut untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing, bukan hanya agar lebih produktif dan efisien, tetapi juga agar lebih kreatif dan inovatif.
Pendidikan pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan kecerdasan intektual agar masyarakat dapat menghidupi dirinya sendiri, mengembangkan keterampilan agar masyarakat dapat hidup bersama dengan baik, dan membangun karakter agar masyarakat
Halaman| 8
Versi 8 Desember 2010
dapat ikut serta memuliakan kehidupan dan membangun peradaban maju. Masyarakat pengetahuan (knowledge society) Indonesia diharapkan dapat terbentuk dengan mewarisi nilai-nilai luhur yang ditandai oleh moralitas, kehormatan, integritas, kejujuran, keadilan, toleransi, kebersamaan, kebangsaan, dan penghormatan kepada yang lebih tua. Masyarakat Indonesia baru diharapkan pula dapat mengembangkan karakter modern yang dicirikan oleh keterbukaan, kerja keras, disiplin, ketekunan, motivasi, kreatifitas, dan inovasi yang tinggi, serta keberanian untuk mengambil risiko.
Perguruan tinggi dalam bentuk yang sekarang lahir pada abad ke 10. Dalam perkembangan bangsa-bangsa yang maju di dunia, perguruan tinggi selalu menjadi pilar bangsa dan motor perubahan sosial (an agent of change) masyarakat. Perubahan konsentrasi peran memang terjadi, dari pendidikan, penelitian, kemudian peningkatan daya saing bangsa, namun peran utama perguruan tinggi selaku kekuatan moral (moral force), tempat pembelajaran (a house of learning), pusat kebajikan (a house of wisdom) tidak pernah ditanggalkan sesuai dengan nilai dasar akademik (academic value) yang dianutnya, yaitu pencarian kebenaran.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan isu sentral dalam mengantarkan perubahan sistem sosial masyarakat Indonesia menuju masyarakat pengetahuan yang maju (modern), dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi akan merupakan kata kunci untuk meningkatkan daya saing dalam interaksi global. Upaya yang sungguh-sungguh perlu dilakukan untuk membangun perguruan tinggi yang sehat, bermutu, mandiri, dan maju.
2. Identifikasi Masalah
2.1. Ukuran dan skala perguruan tinggi Pada saat ini di Indonesia terdapat tidak kurang dari 3000 perguruan tinggi, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat, yang tersebar di seluruh wilayah negara. Kondisi ini menyebabkan pola pengelolaan yang sentralisasi menjadi tidak realistik, sehingga pola desentralisasi melalui otonomi perguruan tinggi merupakan pilihan yang tidak terhindarkan. Namun demikian, kenyataan juga menunjukkan bahwa tidak semua perguruan tinggi mampu untuk menjalankan otonomi perguruan tinggi, sehingga menyeragamkan pemberian otonomi kepada perguruan tinggi justru akan kontra produktif. Oleh karena itu, pemberian otonomi kepada perguruan tinggi harus dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kemampuan dan kelayakan perguruan tinggi tersebut. Selain itu, harus pula dibuka kemungkinan bahwa karena kewajiban Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka akan terdapat perguruan tinggi penyelenggara program-program tertentu yang tetap merupakan bagian dari birokrasi Pemerintah dengan otonomi hanya di bidang akademik.
2.2. Mutu dan Relevansi
Pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan akan berkontribusi secara signifikan dalam peningkatan daya saing bangsa. Peningkatan mutu dan relevansi yang sistematis dan berkelanjutan membutuhkan lingkungan akademik yang kondusif, dimana perguruan tinggi diberikan otonomi untuk mengembangkan inovasi dan kreativitas sesuai dengan kondisi dan potensi masing-masing.
Halaman| 9
Versi 8 Desember 2010
2.3. Peraturan Perundangan
Lingkungan kondusif sebagaimana disebutkan di atas tidak hanya mencakup suasana akademik, namun menyangkut pula kerangka peraturan perundang-undangan (legal framework) yang menjadi dasar tata kelola perguruan tinggi. Pada saat ini, terutama perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah masih merupakan bagian dari birokrasi pemerintah. Hal ini menyebabkan kekurangsesuaian (incompatibility) mengingat karakteristik pengelolaan perguruan tinggi yang sangat berbeda dengan pengelolaan instansi pemerintah. Kekurangsesuaian dimaksud khususnya dirasakan dalam pengelolaan aspek keuangan dan kepegawaian. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan secara rinci bahwa yang merupakan masalah adalah: a. Tata kelola (governance)
Pengelolaan perguruan tinggi yang otonom memerlukan tata kelola yang mendahulukan prinsip good governance, yaitu menjaga keseimbangan antara otonomi dan akuntabilitas. Peraturan perundang-undangan pada saat ini masih memosisikan perguruan tinggi sebagai bagian dari sistem birokrasi pemerintah. Sebagai bagian dari birokrasi Pemerintah, perguruan tinggi hanya diberikan kewenangan tertentu yang didelegasikan oleh Pemerintah.
b. Pengelolaan keuangan Pengelolaan keuangan di perguruan tinggi Pemerintah yang tunduk pada pola pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang bersifat rinci (lineitem),
dipandang menyulitkan bagi perguruan tinggi dalam mendukung kelancaran pelaksanaan program di perguruan tinggi, baik dalam pengelolaan keuangan rutin maupun pengembangan. Penggolongan penghasilan perguruan tinggi Pemerintah sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dipandang tidak tepat mengingat, sebagaimana dikemukakan di atas bahwa perguruan tinggi bukan merupakan badan usaha.
c. Pengelolaan Kepegawaian
Pegawai perguruan tinggi Pemerintah, baik dosen maupun tenaga kependidikan yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) merupakan hambatan bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan dosen sebagai professional. Sebagian besar unsur manajemen sumber daya manusia mulai dari pengangkatan, penugasan, mutasi/promosi/demosi, hingga pemberhentian harus mengikuti manajemen pegawai negeri sipil yang dirancang bagi aparatur pemerintah, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan kepegawaian di perguruan tinggi.
d. Pengelolaan aset dan sarana Aset dan sarana perguruan tinggi membutuhkan sistem pengelolaan yang khusus karena
sifat dan fungsinya sangat berbeda dengan barang milik negara pada umumnya. Kendala utama terletak pada sistem dan pengaturan tentang pengadaan, penyimpanan, dan penghapusan yang membutuhkan fleksibilitas tinggi, sedangkan sistem dan pengaturan
Halaman| 10
Versi 8 Desember 2010
untuk barang milik negara dipandang terlalu kaku untuk memenuhi fleksibilitas yang dibutuhkan.
e. Pengelolaan kegiatan akademik
Pengelolaan dan pengembangan kegiatan akademik oleh perguruan tinggi pada saat ini tidak memiliki otonomi yang memadai, antara lain dalam hal pembukaan, perubahan, dan penutupan program studi, penamaan program studi, pengaturan sistem akademik, dan lain-lain. Kondisi ini dirasakan sangat menghambat pengembangan ilmu, teknologi, dan seni di perguruan tinggi.
3. Tujuan dan Kegunaan
3.1. Tujuan Tujuan pembentukan Undang-Undang Perguruan Tinggi (UUPT) adalah memenuhi Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas yang mengamanatkan penyusunan undang-undang tentang badan hukum pendidikan. Namun demikian, UU BHP yang diundangkan untuk memenuhi amanat tersebut telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Putusan tersebut menyatakan bahwa badan hukum pendidikan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas, harus dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan. Untuk pendidikan tinggi, fungsi penyelenggara pendidikan tinggi di dalam pemaknaan baru menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dilaksanakan oleh perguruan tinggi
Oleh karena itu, tujuan UUPT adalah mengatur tata kelola perguruan tinggi dalam menjalankan fungsi penyelenggara pendidikan tinggi.
3.2. Kegunaan
Adapun kegunaan dari UUPT adalah memberikan dasar hukum yang kokoh bagi perguruan tinggi dalam menjalankan fungsi penyelenggara pendidikan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan daya saing bangsa.
4. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian hukum terdapat paling tidak 4 (empat) metode penelitian hukum yaitu cara yang sistematis untuk menemukan kebenaran di bidang hukum. Keempat metode penelitian hukum tersebut adalah: a. Metode Penelitian Hukum Normatif; b. Metode Penelitian Hukum Historis; c. Metode Penelitian Hukum Sosiologis; d. Metode Penelitian Hukum Multi dan Interdisipliner. Untuk menyusun Naskah Akademik ini digunakan 2 (dua) metode penelitian hukum, yaitu Metode Penelitian Hukum Normatif dan Metode Penelitian Hukum Sosiologis.
4.1. Metode Penelitian Hukum Normatif (Metode Penelitian Yuridis Dogmatis) Metode ini dapat disimpulkan dari ajaran Hans Kelsen yang dikenal sebagai Ajaran Hukum Murni (Die Reine Rechtslehre) atau dikenal sebagai Mashab Wina. Disebut Ajaran Hukum Murni karena ajarannya dibersihkan dari pengaruh hukum alam dan ilmu lain yang sarat
Halaman| 11
Versi 8 Desember 2010
akan empiri/fakta/realita. Menurut Hans Kelsen, hukum berlaku bukan karena secara empiris, faktual, atau pada kenyataannya (das Sein) hukum tersebut berlaku di dalam masyarakat. Empiri/fakta/realita bahwa hukum berlaku tidak menunjukkan bahwa hukum itu seharusnya (das Sollen) berlaku. Hukum berlaku bukan karena secara empiris, faktual, atau pada kenyataannya hukum tersebut berlaku, melainkan karena terdapat hukum lain yang lebih tinggi peringkatnya yang memberlakukan hukum tersebut. Pandangan ini menghasilkan teori tentang hirarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana dianut oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan,
yang dalam Pasal 7 memuat Hirarkhi Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah.
Hirarkhi Peraturan Perundang-Undangan tersebut mengandung makna bahwa semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah baru berlaku apabila bersumber, konsisten, dan tidak bertentangan dengan semua peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan perkataan lain, keberlakuan sebuah peraturan perundang-undangan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang memiliki peringkat lebih tinggi. Cara berpikir yang digunakan dalam Metode Penelitian Hukum Normatif ini adalah cara berpikir deduktif. Oleh karena itu, penyusunan Rancangan UUPT dalam Naskah Akademik ini harus bersumber, konsisten, dan tidak boleh bertentangan dengan semua peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Metode Penelitian Hukum Normatif dilakukan melalui studi kepustakaan yang menelaah data sekunder, baik yang berupa peraturan perundang-undangan maupun hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lain.
4.2. Metode Penelitian Hukum Sosiologis
Metode penelitian yang bersifat empiris ini dapat disimpulkan dari ajaran Eugen Ehrlich yang menyatakan bahwa hukum yang hidup (the living law) tidak ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan, melainkan tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Apabila hukum yang berlaku adalah hukum yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, maka tidak seperti Hans Kelsen yang menafikkan empiri/fakta/realita, justru Eugen Ehrlich mengutamakan empiri/fakta/realita (das Sein). Dengan perkataan lain, keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan bukan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi peringkatnya, melainkan oleh empiri/fakta/realita bahwa peraturan perundang-undangan tersebut ditaati oleh masyarakat. Cara berpikir yang digunakan dalam Metode Penelitian Hukum Sosiologis ini adalah cara berpikir induktif.
Halaman| 12
Versi 8 Desember 2010
Oleh karena itu, penyusunan Rancangan UUPT dalam Naskah Akademik ini selain harus bersumber, konsisten, dan tidak boleh bertentangan dengan semua peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi, juga harus memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi masyarakat, khususnya masyarakat perguruan tinggi, yang menunjukkan empiri/fakta/ realita kebutuhan perguruan tinggi di Indonesia. Metode Penelitian Hukum Sosiologis dilakukan dengan menganalisis data primer yang dikumpulkan secara langsung dari masyarakat, khususnya masyarakat perguruan tinggi. Data primer tersebut diperoleh dengan cara pengamatan, diskusi, wawancara, mendengar pandangan narasumber/ahli, dan/atau membaca kembali rekaman data tentang perguruan tinggi di dalam surat kabar.
********
Halaman| 13
Versi 8 Desember 2010
Bab II Asas, Prinsip, Tujuan, dan Pernyataan Kebijakan Dalam Penyusunan
RUU Perguruan Tinggi
1. Asas RUU Perguruan Tinggi Penjelasan UU Sisdiknas menyatakan bahwa Visi Pendidikan Nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Untuk mewujudkan Visi Pendidikan Nasional tersebut, sistem pendidikan tinggi Nasional sebagai sub sistem dari Sistem Pendidikan Nasional harus memiliki tata kelola perguruan tinggi yang berkelanjutan, serta mampu mewujudkan sistem pendidikan tinggi sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa, untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Agar tata kelola perguruan tinggi mampu mewujudkan Visi Pendidikan Nasional, maka Negara bertanggungjawab atas pengelolaan perguruan tinggi Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan warganegara dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini sejalan dengan amanat salah satu Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009. Amar Putusan yang dimaksud menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai bahwa setiap warga negara ikut bertanggungjawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Putusan ini menyiratkan bahwa sesungguhnya yang bertanggungjawab atas keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan Nasional adalah Negara. Selain itu agar Visi Pendidikan Nasional dapat diwujudkan, tata kelola perguruan tinggi harus pula didasarkan pada beberapa asas yang akan melandasi norma hukum di dalam RUUPT. Asas yang dimaksud adalah: a. Asas Kebenaran; b. Asas Keadilan; c. Asas Nirlaba;
1.1. Asas Kebenaran
Asas ini merupakan landasan dalam mencari, menemukan, mendiseminasikan, serta mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni yang merupakan kegiatan inti dari perguruan tinggi. Di perguruan tinggi senantiasa digunakan metode ilmiah (scientific approach) yang mempertemukan antara kebenaran koheren yang menghasilkan hipotesis untuk diverifikasi dengan empiri yang diperoleh melalui kebenaran koresponden.
Halaman| 14
Versi 8 Desember 2010
1.2. Asas Keadilan Asas ini merupakan amanat dari UU Sisdiknas sebagaimana ditetapkan dalam: a. Pasal 4 ayat (1):
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa;
b. Pasal 47 ayat (1): Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan;
c. Pasal 48 ayat (1): Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Berdasarkan ketiga Pasal di atas, Asas Keadilan berarti perguruan tinggi wajib menyediakan akses kepada calon mahasiswa dan memberikan layanan pendidikan tinggi kepada mahasiswa, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya.
1.3. Asas Nirlaba
Asas ini merupakan amanat UU Sisdiknas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 53 ayat (3) yang menyatakan bahwa badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Asas Nirlaba pada perguruan tinggi berarti bahwa tujuan utama kegiatan perguruan tinggi bukan mencari sisa hasil usaha, namun apabila terdapat sisa hasil usaha dari kegiatan perguruan tinggi maka sisa hasil usaha tersebut wajib ditanamkan kembali ke dalam perguruan tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan perguruan tinggi.
2. Prinsip RUU Perguruan Tingi Dalam pengelolaan perguruan tinggi digunakan beberapa prinsip sebagai berikut: a. Prinsip Otonomi Perguruan Tinggi; b. Prinsip Transparansi Perguruan Tinggi; c. Prinsip Akuntabilitas Perguruan Tinggi; dan d. Prinsip Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi.
2.1. Prinsip Otonomi Perguruan Tinggi
Prinsip ini merupakan amanat dari UU Sisdiknas sebagaimana ditetapkan dalam: a. Pasal 24 ayat (2):
Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
b. Pasal 50 ayat (6): Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.
Halaman| 15
Versi 8 Desember 2010
c. Penjelasan Pasal 50 ayat (6): Yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.
Berdasarkan ketiga Pasal tersebut di atas, Prinsip Otonomi Perguruan tinggi berarti bahwa perguruan tinggi memiliki kewenangan dan kemampuan perguruan tinggi untuk menjalankan kegiatan akademik maupun non akademik secara mandiri.
2.2. Prinsip Transparansi Perguruan Tinggi
Prinsip ini merupakan amanat dari UU Sisdiknas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 48 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Prinsip Transparansi Perguruan Tinggi berarti perguruan tinggi memiliki keterbukaan dan kemampuan untuk menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan.
2.3. Prinsip Akuntabilitas Perguruan Tinggi
Prinsip ini merupakan amanat dari UU Sisdiknas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 48 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Prinsip Akuntabilitas Perguruan Tinggi berarti perguruan tinggi memiliki kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan
semua kegiatan yang dijalankan perguruan tinggi kepada pemangku kepentingan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.4. Prinsip Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi
Prinsip ini merupakan amanat dari UU Sisdiknas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 51 ayat (2) yang menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Prinsip Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi berarti perguruan tinggi menjalankan kegiatannya secara sistemik dalam memberikan layanan pendidikan tinggi yang memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan, serta dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan.
3. Tujuan RUU Perguruan Tinggi Berdasarkan asas dan prinsip yang diuraikan di atas, maka dirumuskan tujuan ketentuan di dalam RUUPT sebagaimana dikemukakan di bawah ini. Ketentuan dalam RUUPT bertujuan memajukan perguruan tinggi agar mampu mewujudkan Visi Pendidikan Nasional, dengan menerapkan tahapan kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya secara transparan, akuntabel, adil, dan nirlaba.
4. Pernyataan Kebijakan (policy statement) RUU Perguruan Tinggi Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (6) UU Sisdiknas dapat dikemukakan bahwa perguruan tinggi:
Halaman| 16
Versi 8 Desember 2010
a. memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat;
b. menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.
Lebih jauh lagi, pengertian otonomi perguruan tinggi menurut Penjelasan Pasal 50 ayat (6) UU Sisdiknas adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.
Kemandirian suatu perguruan tinggi akan diberikan (dimandatkan) oleh Pemerintah secara bertahap, setelah Pemerintah melakukan penilaian tentang kesiapan perguruan tinggi tersebut dalam menerapkan pengelolaan perguruan tingginya secara mandiri.
Pemberian mandat berupa kemandirian kepada perguruan tinggi oleh Pemerintah didasarkan pada: a. Domein Pemerintah untuk memberikan kemandirian, yaitu:
Pemerintah dapat memberikan kemandirian kepada perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dalam domein: o Tata kelola; o Pengelolaan keuangan; o Pengelolaan kepegawaian; o Pengelolaan aset dan sarana; o Pengelolaan kegiatan akademik.
Pemerintah dapat memberikan kemandirian kepada perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat hanya dalam domein pengelolaan kegiatan akademik yang merupakan domein Pemerintah, sedangkan domein perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat lainnya seperti tata kelola, pengelolaan keuangan, pengelolaan kepegawaian, serta pengelolaan aset dan sarana merupakan domein penyelenggara perguruan tinggi tersebut.
b. Kemampuan perguruan tinggi untuk: memberikan kontribusi pada kemajuan bangsa dan negara, yaitu semakin tinggi tingkat
kemampuan perguruan tinggi memberikan kontribusi pada kemajuan bangsa dan negara, maka semakin besar luas lingkup kemandirian yang akan diberikan oleh Pemerintah. Kontribusi yang dimaksud adalah melaksanakan misi khusus negara antara lain:
Pengembangan ilmu, teknologi dan seni yang strategis untuk masa depan bangsa dan negara;
Perluasan akses pada pendidikan tinggi secara nasional; Peluasan akses khusus pada pendidikan tinggi untuk daerah tertinggal, perbatasan,
konflik, bencana; Penyelenggaraan program pada jenjang pendidikan tinggi untuk menunjang
pemberdayaan daerah dan pemerintah daerah; Pengembangan dan pelestarian ilmu yang menunjang keberlangsungan seni dan budaya
bangsa; Penyelenggaraan program untuk internasionalisasi pendidikan tinggi; Penyelenggaraan program pembinaan dalam rangka meningkatkan mutu perguruan
tinggi lain.
Halaman| 17
Versi 8 Desember 2010
menyelenggarakan program, yaitu: a. Program akademik; b. Program profesi; c. Program vokasi;
menyelenggarakan program pendidikan tinggi, yaitu: o Program pendidikan diploma; o Program pendidikan sarjana; o Program pendidikan magister; o Program pendidikan spesialis; o Program pendidikan doktor.
menyelenggarakan bentuk perguruan tinggi, yaitu: o Universitas; o Institut; o SekolahTinggi; o Polyteknik; o Akademi.
Berdasarkan kewenangan Pemerintah dan kemampuan perguruan tinggi sebagaimana dikemukakan di atas, Pemerintah melakukan penilaian untuk memberikan mandat kemandirian perguruan tinggi yang menghasilkan 3 (tiga) jenis perguruan tinggi dengan tahap kemandirian sebagai berikut: a. Perguruan tinggi dengan kemandirian penuh bagi:
Perguruan tinggi yang diselenggarakan Pemerintah (PTP); Perguruan tinggi yang diselenggarakan masyarakat (PTM);
b. Perguruan tinggi dengan kemandirian sebagian bagi: PTP yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PTP-PPKBLU); PTM dengan kemandirian sebagian dalam bidang pengelolaan kegiatan akademik;
c. PTP sebagai unit pelaksana teknis Pemerintah.
********
Halaman| 18
Versi 8 Desember 2010
Bab III Materi muatan RUU Perguruan Tinggi dan Hubungan Dengan
Peraturan Perundang-Undangan Terkait
1. Analisis Hubungan Materi Muatan RUU Perguruan Tinggi Dengan Peraturan PerundangUndangan
Terkait
Dalam
menyusun
RUUPT
perlu
diperhatikan
berbagai
peraturan
perundang-undangan
yang
berada
di
atas
undang-undang
yaitu
Undang-Undang
Dasar
1945,
dan
peraturan
perundangundangan
yang
setara
dengan
undang-undang,
yang
memiliki
hubungan
dengan
RUUPT.
Dengan
menganalisis
hubungan
tersebut
dapat
dirancang
pasal-pasal
di
dalam
RUUPT
yang
dipengaruhi
oleh
atau
memengaruhi
peraturan
perundang-undangan
lainnya
yang
setara.
Selain
itu, dalam
hal
diperlukan
pengecualian
tertentu,
dapat
digunakan
asas lex
specialis
derogat
legi
generalis
yang
berarti hukum
yang
mengatur
hal
khusus
harus
didahulukan
berlakunya
daripada
hukum
yang
mengatur
hal
umum.
Asas
ini
hanya
dapat
diberlakukan
apabila
hukum
yang
mengatur
hal
umum
dan
hukum
yang
mengatur
hal
khusus
memiliki
peringkat
yang
sederajat,
yaitu
dalam
hal
ini
berbentuk
undang-undang.
Secara skematik hubungan antara materi muatan RUUPT dengan berbagai peraturan perundangundangan
dapat
digambarkan
dalam
matriks
sebagai
berikut:
No
Materi RUUPT
Peraturan Perundang-Undangan Terkait
1 Ketentuan Umum 1. UUD 1945 2. UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
2 Asas , Prinsip, dan Tujuan 3 Kedudukan dan Fungsi
Perguruan Tinggi 4 Misi, Mandat, dan Bentuk
Perguruan Tinggi 5 Pendirian, Perubahan, dan
Penutupan Perguruan Tinggi 6 Pengelolaan Perguruan Tinggi
a. Fungsi dan Organ b. Tata Kelola c. Dosen dan Tenaga
Kependidikan d. Kekayaan e. Pengelolaan Dana f. Akuntabilitas dan
Pengawasan 7 Ketentuan Sanksi Administratif 8 Ketentuan Sanksi Pidana 9 Ketentuan Peralihan
10 Ketentuan Penutup
Nasional 3. UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen 4. UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
UU No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
5. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara 6. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara 7. UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak 8. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
9. UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Halaman| 19
Versi 8 Desember 2010
Ketentuan di dalam UUD 1945, terutama ketentuan yang berkenaan dengan pendidikan Nasional, serta UU Sisdiknas merupakan jiwa dari seluruh ketentuan di dalam RUUPT. Sedangkan UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen serta UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian akan digunakan sebagai dasar penyusunan ketentuan mengenai dosen dan tenaga kependidikan di dalam RUUPT. Selanjutnya, UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, serta UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan, Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara merupakan landasan dalam menyusun ketentuan tentang pengelolaan dana serta akuntabilitas dan pengawasan bagi PTP yang menerapkan PPK-BLU dan PTP yang berstatus sebagai unit pelaksana teknis Pemerintah. Adapun UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan selain digunakan sebagai pedoman teknis yuridis dalam penyusunan RUUPT, juga digunakan sebagai landasan dalam menyusun ketentuan tentang sanksi administratif di dalam RUUPT.
2. Materi Muatan RUU Perguruan Tinggi 2.1. Ketentuan Umum
Memuat rumusan akademik mengenai definisi istilah beserta alternatif, singkatan atau akronim yang digunakan dalam RUUPT. Beberapa istilah yang akan dicantumkan definisinya di dalam RUUPT antara lain: a. Pengelolaan; b. Perguruan tinggi; c. Perguruan tinggi Pemerintah; d. Perguruan tinggi masyarakat; e. Bentuk perguruan tinggi; f. Fungsi; g. Organ; h. Pemimpin organ; i. Pimpinan organ; j. Pemerintah; k. Menteri.
2.2. Asas, Prinsip, dan Tujuan
Memuat rumusan akademik mengenai asas, prinsip, dan tujuan sebagaimana yang telah diuraikan pada BAB II yaitu: a. Asas
Asas kebenaran; Asas Keadilan; Asas Nirlaba;
b. Prinsip Prinsip Otonomi Perguruan Tinggi;
Prinsip Transparansi Perguruan Tinggi;
Halaman| 20
Versi 8 Desember 2010
Prinsip Akuntabilitas Perguruan Tinggi; dan Prinsip Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi.
c. Tujuan Tujuan RUUPT dirumuskan berdasarkan asas perguruan tinggi sebagaimana dikemukakan di atas.
Adapun tujuan perguruan tinggi sebagaimana akan diatur di dalam RUUPT adalah memajukan perguruan tinggi agar mampu mewujudkan Visi Pendidikan Nasional, dengan menerapkan tahapan kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya secara transparan, akuntabel, adil, dan nirlaba.
2.3. Kedudukan dan Fungsi Perguruan Tinggi
a. Kedudukan Perguruan Tinggi Menurut Pasal 50 (1) UU Sisdiknas, pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri Pendidikan Nasional. Berdasarkan Pasal tersebut, semua pengelolaan pendidikan termasuk pendidikan tinggi, baik yang diselenggarakan oleh Kementerian Nasional, Kementerian lain dan lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat merupakan tanggung jawab Pemerintah, yang dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan Nasional.
Perguruan tinggi, baik yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian lain dan lembaga pemerintah non kementerian (LPNK), maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat berwenang menyelenggarakan pendidikan tinggi karena diberi mandat berupa kemandirian oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional.
Apabila digambarkan, kedudukan perguruan tinggi dalam pengelolaan Pendidikan Nasional dapat dilihat pada halaman berikut.
Halaman| 21
Versi 8 Desember 2010
Kedudukan Perguruan Tinggi Dalam Pengelolaan Pendidikan Nasional
Perguruan Tinggi
Pemerintah
b. Fungsi Perguruan Tinggi
Dengan kewenangan atribusi yang diberikan oleh UU Sisdiknas sebagaimana dikemukakan di atas, Kementerian Pendidikan Nasional berwenang memberikan mandat berupa kemandirian kepada perguruan tinggi untuk menjalankan fungsi penyelenggara pendidikan tinggi. Luas dan lingkup kemandirian yang diberikan kepada perguruan tinggi, sebagaimana dikemukakan di atas akan disesuaikan dengan: a. Domein Pemerintah untuk memberikan kemandirian tersebut, dan b. Kemampuan perguruan tinggi untuk melaksanakan kemandirian tersebut secara
bertanggungjawab.
Mengingat keragaman kemampuan perguruan tinggi di Indonesia untuk melaksanakan kemandirian, maka fungsi perguruan tinggi tidak dapat disamaratakan, melainkan harus dibedakan berdasarkan kemampuan perguruan tinggi tersebut. Oleh karena itu akan terdapat fungsi perguruan tinggi sebagaimana dapat dilihat pada halaman berikut.
- PT Mandiri Penuh
- PT Mandiri Sebagian
- PTP - UPT Pemerintah
- Kementerian Pendidikan
Nasional
- Kementerian lain
- LPNK
Mandat
Masyarakat
- Asosiasi Profesi
- Asosiasi Dunia Usaha
- Alumni, - LSM
Halaman| 22
Versi 8 Desember 2010
Fungsi Perguruan Tinggi Berdasarkan Kemandirian Yang Diberikan Oleh Pemerintah
No
Unsur
1 Domein Pemerintah untuk memberikan kemandirian
2 Kemampuan PT memberikan kontribusi pada kemajuan bangsa dan negara
3 Kemampuan PT menyelenggarakan program.
4 Kemampuan PT menyelenggarakan program pendidikan.
5 Kemampuan PT menyelenggarakan bentuk perguruan tinggi
PT Mandiri Penuh
PT Mandiri Sebagian PT – UPT
Pemerintah PTP PTM PTP PTM PTP
o Tata kelola o Pengelo-
laan keuangan,
kepegawaian,
aset
dan
sarana,
kegiatan
akademik
o Pengelola an kegiatan akademik
o Pengelolaan
keuangan
melalui
PPK
-
BLU
o Pengelola an kegiatan akademik
Wajib Wajib Dapat Dapat Tidak wajib
o Program Akademik
o Program Profesi
o Program vokasi
o Program Diploma
o Program Sarjana
o Program Magister
o Program Spesialis
o Program Doktor
o Universitas o Institut o Sekolah
Tinggi o Politeknik o Akademi
2.4. Misi, Mandat, dan Bentuk Perguruan Tinggi a. Misi
o Program Akademik
o Program Profesi
o Program vokasi
o Program Diploma
o Program Sarjana
o Program Magister
o Program Spesialis
o Program Doktor
o Universitas o Institut o Sekolah
Tinggi o Politeknik o Akademi
o Program Akademik o Program vokasi
o Program Diploma o Program Sarjana o Program Magister
o Universitas o Institut o Sekolah
Tinggi o Politeknik o Akademi
o Program Akademik o Program vokasi
o Program Diploma o Program Sarjana o Program Magister
o Universitas o Institut o Sekolah Tinggi o Politeknik o Akademi
Misi perguruan tinggi terdiri atas: Misi Umum Perguruan Tinggi adalah menyelenggarakan Tridharma Perguruan Tinggi
yaitu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Misi Khusus Perguruan Tinggi sesuai dengan taraf kemandiriannya adalah
menyelenggarakan: o Pengembangan ilmu, teknologi dan seni yang strategis untuk masa depan bangsa
dan negara; o Perluasan akses pada pendidikan tinggi secara nasional; o Peluasan akses khusus pada pendidikan tinggi untuk daerah tertinggal, perbatasan,
konflik, bencana;
Tidak ada kemandirian
o Program Akademik o Program vokasi
o Program Diploma o Program Sarjana o Program Magister
o Universitas o Institut o Sekolah Tinggi o Politeknik o Akademi
Halaman| 23
Versi 8 Desember 2010
o Penyelenggaraan program pada jenjang pendidikan tinggi untuk menunjang pemberdayaan daerah dan pemerintah daerah;
o Pengembangan dan pelestarian ilmu yang menunjang keberlangsungan seni dan budaya bangsa;
o Penyelenggaraan program untuk internasionalisasi pendidikan tinggi; o Penyelenggaraan program pembinaan dalam rangka meningkatkan mutu
perguruan tinggi lain.
b. Mandat Untuk memenuhi misi dan sesuai dengan taraf kemandiriannya, suatu perguruan tinggi dapat diberi mandat menyelenggarakan: a. Program akademik melalui program pendidikan sarjana, magister, dan doktor; b. Program profesi melalui program pendidikan spesialis; c. Program vokasi melalui program pendidikan diploma.
Perguruan tinggi yang telah diberikan mandat berupa kemandirian penuh, berkewajiban melaksanakan penugasan khusus untuk memenuhi kebutuhan bangsa dan negara Indonesia.
c. Bentuk Untuk melaksanakan misi dan mandatnya, perguruan tinggi dapat berbentuk: a. Universitas; b. Institut; c. SekolahTinggi; d. Politeknik; e. Akademi.
2.5. Pendirian, Perubahan, dan Penutupan Perguruan Tinggi
a. Pendirian Perguruan Tinggi Pasal 62 ayat (1) UU Sisdiknas menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan formal dan non formal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah. Dengan demikian, menurut Pasal tersebut pendirian perguruan tinggi wajib memperoleh izin dari Kementerian Pendidikan Nasional. Pendirian perguruan tinggi terdiri atas pendirian:
universitas; Institut; sekolah tinggi; politeknik; atau akademi.
b. Perubahan Perguruan Tinggi
Perubahan perguruan tinggi terdiri atas: a. perubahan nama dan/atau bentuk dari nama dan/atau bentuk perguruan tinggi
tertentu menjadi nama dan/atau bentuk perguruan tinggi yang lain;
Halaman| 24
Versi 8 Desember 2010
b. penggabungan 2 (dua) atau lebih perguruan tinggi menjadi 1 (satu) perguruan tinggi baru;
c. 1 (satu) atau lebih perguruan tinggi menggabungkan diri ke perguruan tinggi lain; d. pemecahan dari 1 (satu) bentuk perguruan tinggi menjadi 2 (dua) atau lebih bentuk
perguruan tinggi yang lain.
c. Penutupan Perguruan Tinggi Berhubung pendirian perguruan tinggi harus memperoleh izin dari Kementerian Pendidikan Nasional, maka apabila karena alasan tertentu izin perguruan tinggi dicabut oleh Kementerian Pendidikan Nasional, berarti perguruan tinggi tersebut harus ditutup. Pencabutan izin merupakan sanksi administratif yang terberat karena perguruan tinggi telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan.
2.6. Pengelolaan Perguruan Tinggi Ketentuan tentang pengelolaan perguruan tinggi ini diberlakukan bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah (PTM), sedangkan bagi pengelolaan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat (PTM) ketentuan tentang pengelolaan perguruan tingginya diatur sendiri oleh badan hukum penyelenggaranya (yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain yang sejenis). a. Fungsi dan Organ
Jumlah dan jenis fungsi dan organ pada PTP ditentukan berdasarkan taraf kemandirian PTP untuk mengelola sendiri lembaganya.
Pada PTP dengan kemandirian penuh terdapat 4 (empat) fungsi dan organ utama sebagai berikut:
No Fungsi Organ 1 Fungsi Penentuan Kebijakan Umum Majelis Pemangku 2 Fungsi Pengelolaan Pimpinan 3 Fungsi Pengawasan Akademik Senat Akademik 4 Fungsi Pengawasan Non Akademik Satuan Pengawas
Pada PTP dengan kemandirian sebagian terdapat 3 (tiga) fungsi dan organ utama serta 1 (satu) organ PPK-BLU sebagai berikut:
No Fungsi Organ 1 Fungsi Pengelolaan Pimpinan 2 Fungsi Pengawasan Akademik Senat Akademik 3 Fungsi Pengawasan Non Akademik Satuan Pengawas 4 Fungsi Pengawasan PPK-BLU Dewan Pengawas PPK-BLU
Pada PTP sebagai UPT Pemerintah, terdapat 3 (tiga) fungsi dan organ utama sebagai berikut:
Halaman| 25
Versi 8 Desember 2010
No Fungsi Organ 1 Fungsi Pengelolaan Pimpinan 2 Fungsi Pengawasan Akademik Senat Akademik 3 Fungsi Pengawasan Non Akademik Satuan Pengawas
Organ lain pada PTP selain yang disebutkan di atas, baik dengan kemandirian penuh maupun sebagian, ditetapkan sendiri oleh PTP yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan. Jumlah dan jenis organ lain tersebut ditetapkan di dalam statuta masingmasing
PTP.
Adapun anggota dalam setiap organ utama dalam PTP sebagai berikut:
Majelis Pemangku
a. Menteri Pendidikan Nasional;
b. Menteri lain dan/atau Pemimpin Lembaga Negara Non Kementerian bagi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi
c. Gubernur/Bupati/Walikota;
d. Wakil dari masyarakat. Pimpinan
Dibantu oleh paling sedikit 2 (dua) Wakil Rektor/Ketua/Direktur masing-masing: a. Wakil Rektor/Ketua/Direktur Bidang Akademik; b. Wakil Rektor/Ketua/Direktur Bidang Non Akademik;
Senat Akademik Keanggotaan Senat Akademik terdiri atas: a. Wakil dari guru besar setiap jurusan atau nama lain yang sejenis; b. Wakil dari dosen non guru besar setiap jurusan atau nama lain yang sejenis; c. Kepala perpustakaan atau
Satuan Pengawas Merupakan unit yang dibentuk oleh Majelis Pemangku dengan anggota terdiri atas: a. Ahli keuangan; b. Ahli manajemen ; c. Ahli hukum; d. Ahli manajemen aset.
b. Tata Kelola
Tugas dan Wewenang Majelis Pemangku Pada PTP dengan kemandirian penuh, Pemerintah mendelegasikan tugas dan wewenangnya kepada Majelis Pemangku sehingga secara garis besar tugas dan wewenang Majelis Pemangku sebagai berikut: a. menetapkan dan/atau mengesahkan berbagai dokumen dasar PTP, antara lain
kebijakan umum, statuta beserta perubahannya, rencana induk pengembangan dan rencana strategis, serta rencana kerja dan anggaran tahunan;
b. mengangkat dan memberhentikan dan/atau mengesahkan pemimpin organ PTP; c. melakukan pengawasan umum, penilaian atas laporan kinerja organ PTP; d. memenuhi kebutuhan pembiayaan dan menyelesaikan persoalan PTP.
Halaman| 26
Versi 8 Desember 2010
Tugas dan wewenang Pimpinan
Pada PTP dengan kemandirian penuh, Majelis Pemangku mendelegasikan tugas dan wewenangnya kepada pimpinan, sehingga secara garis besar tugas dan wewenang pimpinan sebagai berikut: a. menyusun dan mengusulkan kepada Majelis Pemangku berbagai dokumen dasar
PTP antara lain rencana induk pengembangan dan rencana strategis, serta rencana kerja dan anggaran tahunan;
b. mengelola kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; c. melakukan tindakan hukum dan bertindak ke luar untuk dan atas nama PTP.
Sedangkan pada PTP dengan kemadirian sebagian, tugas dan wewenang pimpinan sebagai berikut:
a. menyusun dan mengusulkan kepada Pemerintah berbagai dokumen dasar PTP, antara lain rencana induk pengembangan dan rencana strategis, serta rencana kerja dan anggaran tahunan serta dokumen PPK-BLU;
b. mengelola kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; c. melakukan tindakan hukum dan bertindak ke luar untuk dan atas nama PTP.
Pada PTP sebagai UPT–Pemerintah, tugas dan wewenang pimpinan sebagai berikut:
a. menyusun dan mengusulkan kepada Pemerintah berbagai dokumen dasar PTP, antara lain rencana induk pengembangan dan rencana strategis, serta rencana kerja dan anggaran tahunan;
b. mengelola kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; d. melakukan tindakan hukum dan bertindak ke luar untuk dan atas nama PTP.
Tugas dan wewenang Senat Akademik
Pada PTP dengan kemandirian penuh, Tugas dan wewenang Senat Akademik sebagai berikut: a. menyusun dan menetapkan serta mengawasi pelaksanaan kebijakan akademik,
norma dan ketentuan akademik, penjaminan mutu, kurikulum dan proses pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, kode etik sivitas akademika, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan, kebijakan penilaian kinerja dosen dan tenaga kependidikan;
b. memutuskan pemberian atau pencabutan gelar dan penghargaan akademik; c. memberi pertimbangan kepada Majelis Pemangku tentang berbagai dokumen
dasar PTP yang disusun pimpinan PTP, dan kinerja bidang akademik pimpinan PTP.
Sedangkan pada PTP dengan kemandirian sebagian atau UPT Pemerintah, Tugas dan wewenang Senat Akademik sebagai berikut: a. menyusun dan menetapkan serta mengawasi pelaksanaan kebijakan akademik,
norma dan ketentuan akademik, penjaminan mutu, kurikulum dan proses pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, kode etik sivitas
Halaman| 27
Versi 8 Desember 2010
akademika, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan, kebijakan penilaian kinerja dosen dan tenaga kependidikan;
b. memutuskan pemberian atau pencabutan gelar dan penghargaan akademik; c. memberi pertimbangan kepada Pemerintah tentang berbagai dokumen dasar PTP
yang disusun pimpinan PTP, dan kinerja bidang akademik pimpinan PTP.
Tugas dan wewenang Satuan Pengawas Pada PTP dengan kemandirian penuh, tugas dan wewenang Satuan Pengawas sebagai berikut:
a. menetapkan dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan audit internal dan eksternal bidang non-akademik;
b. memberikan saran dan/atau pertimbangan tentang perbaikan pengelolaan kegiatan non-akademik kepada Majelis Pemangku.
Sedangkan pada PTP dengan kemandirian sebagian atau UPT-Pemerintah, tugas dan wewenang Satuan Pengawas sebagai berikut: a. menetapkan dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan audit internal dan eksternal
bidang non-akademik; d. memberikan saran dan/atau pertimbangan tentang perbaikan pengelolaan
kegiatan non-akademik kepada Pemerintah.
Secara umum, perbedaan tugas dan wewenang organ pada PTP dengan kemandirian penuh, kemandirian sebagian dan pada PTP UPT-Pemerintah, dapat digambarkan dalam matriks sebagai berikut:
No
Perihal PTP
Mandiri Penuh PTP
Mandiri Sebagian PTP
UPT-Pemerintah 1 Fungsi dan Organ o 4 Fungsi
2 Tata Kelola Sumber
Kewenangan
o 4 Organ o 3 Fungsi o 3 Organ o Dewan Pengawas PPKBLU
o Majelis
Pemangku menerima delegasi
tugas
dan
wewenang
dari Pemerintah
o Pimpinan diangkat
dan diberhentikan
oleh Majelis Pemangku
o Senat Akademik dipilih di unit
o Pimpinan menerima delegasi sebagian tugas dan wewenang dari Pemerintah, dan diangkat serta diberhentikan oleh Pemerintah o Senat Akademik
3 Fungsi 3 Organ
o Tidak ada pendelegasian
wewenang
o
Pimpinan
diangkat
dan diberhentikan
oleh Pemerintah o Senat Akademik
Halaman| 28
Versi 8 Desember 2010
Penentu Kebijakan Umum
Pengelolaan
Pengawasan Akademik
Pengawasan
Non Akademik
3 Dosen dan Tenaga
Kependidikan
kerja dan disahkan
oleh
Majelis
Pemangku
o Satuan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Pemangku
o Majelis
Pemangku
o Pemimpin
o Senat Akademik
o Satuan
Pengawas
o PNS o PTT
4 Pengelolaan dana o APBN o Masyarakat
5 Akuntabilitas dan Pengawasan
o Laporan akademik
dan
non
akademik
oleh
organ
PTP
kepada
Majelis
Pemangku
dan
dipublikasikan
kepada
masyarakat
dipilih di unit kerja dan disahkan
oleh Pemerintah
o Satuan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah o Pemerintah o Pemimpin o Senat Akaemik
o Satuan Pengawas
o PNS o PTT
o APBN o PPK-BLU
o Laporan akademik
dan
non
akademik
oleh
organ
PTP
kepada
Pemerintah
dan
dipublikasikan
kepada
masyarakat
dipilih di unit kerja dan disahkan
oleh Pemerintah
o
Satuan
Pengawas
diangkat
dan diberhentikan oleh Pemerintah o Pemerintah o Pemimpin o Senat Akademik
c. Dosen dan Tenaga Kependidikan Manajemen kepegawaian pada PTP dilaksanakan berpedoman pada peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian.
Pegawai PTP terdiri atas dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap.
Dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai tidak tetap membuat perjanjian kerja dengan pemimpin PTP berdasarkan statuta perguruan tinggi yang bersangkutan. Pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan serta hak dan kewajiban dosen dan tenaga kependidikan ditetapkan dalam statuta PTP.
o Satuan Pengawas Internal
o PNS o PTT
o APBN o Non PPK-BLU
o Laporan akademik
dan
non
akademik
oleh
organ
PTP
kepada
o Pemerintah
Halaman| 29
Versi 8 Desember 2010
Gaji dan tunjangan bagi dosen dan tenaga kependidikan pada PTP, baik berstatus pegawai negeri sipil dan pegawai tidak tetap, dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
Penyelesaian perselisihan yang timbul antara dosen atau tenaga kependidikan dengan pemimpin PTP diatur dalam statuta perguruan tinggi yang bersangkutan.
d. Kekayaan
Kekayaan adalah sumber daya keuangan yang diperlukan oleh PTP untuk membiayai penyelenggaraan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat terdiri atas:
biaya investasi, yaitu biaya untuk prasarana dan sarana; biaya operasional, yaitu biaya personalia dan non personalia; beasiswa; bantuan biaya pendidikan.
Pada dasarnya pendanaan PTP merupakan tanggungjawab Pemerintah yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara. PTP dapat memungut dana dari masyarakat berupa sumbangan yang tidak mengikat untuk biaya investasi dan biaya operasional, beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa. Dana dari masyarakat dapat berupa sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan/atau penerimaan lain yang sah.
Dalam hal masyarakat menyumbang sebagian dari beban penyelenggaraan PTP, maka pemungutan sumbangan itu harus didasarkan pada asas keadilan. Artinya, sumbangan yang diberikan oleh masyarakat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi yang bersangkutan. Kepada masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu diberikan bantuan biaya pendidikan yang dananya bersumber dari pemerintah atau sumber pendanaan lain yang diusahakan oleh perguruan tinggi tersebut.
Di samping pendanaan yang berasal dari masyarakat yang menikmati pendidikan tinggi, PTP juga perlu menggali potensi pendanaan dari para filantropis dan dunia usaha. Dalam hal ini, PTP dimungkinkan untuk mengelola sendiri dana abadi (endowment fund) dan menyelenggarakan badan usaha sesuai peraturan perundang-undangan.
e. Pengelolaan Dana
Telah dikemukakan di atas bahwa terdapat 3 (tiga) jenis PTP berdasarkan taraf kemandiriannya, sehingga pengelolaan dana pada PTP dilakukan sesuai dengan taraf kemandirian PTP yang bersangkutan. Terdapat 3 (tiga) pola pengelolaan dana pada PTP, yaitu:
Halaman| 30
Versi 8 Desember 2010
PTP yang memiliki kemandirian penuh dapat mengelola dana secara mandiri; PTP yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum (PPK-BLU)
dapat mengelola dana secara mandiri berdasarkan peraturan perundang-undangan PPK-BLU; dan
PTP UPT-Pemerintah mengelola dana berdasarkan peraturan perundang-undangan bidang keuangan negara pada umumnya.
f. Akuntabilitas dan Pengawasan
Akuntabilitas publik PTP wajib diwujudkan dengan menjaga agar jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap PTP, senantiasa seimbang dengan kapasitas sarana dan prasarana, dosen dan tenaga kependidikan, pelayanan, serta sumber daya pendidikan lainnya yang dimiliki oleh PTP yang bersangkutan.
Pengawasan PTP dilakukan melalui sistem pelaporan tahunan. Laporan PTP terdiri atas laporan bidang akademik yang meliputi laporan penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dan laporan bidang non-akademik yang meliputi laporan manajemen dan laporan keuangan.
Sistem pelaporan di atas diatur dalam statuta PTP sesuai dengan peraturan perundangundangan.
2.7. Ketentuan Sanksi Administratif
Sanksi administratif merupakan sanksi yang dijatuhkan terhadap PTP apabila PTP tidak memenuhi kewajiban administratif sebagaimana diatur dalam UU Perguruan Tinggi dan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi negara. Sanksi administratif yang dijatuhkan atas pelanggaran pasal-pasal tertentu di dalam RUU Perguruan Tinggi dan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi negara, berupa antara lain: a. pencabutan izin pendirian perguruan tinggi; b. pembubaran perguruan tinggi; c. pemberhentian sementara pimpinan PTP; d. denda administratif terhadap perguruan tinggi; atau e. upaya paksa polisional agar perguruan tinggi mematuhi peraturan perundang-undangan.
2.8. Ketentuan Sanksi Pidana
Sanksi pidana merupakan sanksi yang dijatuhkan terhadap pemimpin perguruan tinggi, apabila pemimpin perguruan tinggi melakukan tindak pidana antara lain menggunakan sisa lebih yang dihasilkan oleh perguruan tinggi untuk kepentingan pribadi. Berdasarkan Pasal 14 UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan,
materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam UndangUndang
dan
Peraturan
Daerah.
Halaman| 31
Versi 8 Desember 2010
Di dalam RUU Perguruan Tinggi terdapat ketentuan tentang sanksi pidana bagi pemimpin perguruan tinggi yang melanggar asas nirlaba dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2.9. Ketentuan Peralihan
Ketentuan peralihan di dalam RUU Perguruan Tinggi diperlukan, karena Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010 menyatakan bahwa Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan ”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”, adalah konstitusional sepanjang frasa badan hukum pendidikan dimaknai sebagai: a. sebutan fungsi penyelenggara pendidikan, dan b. bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.
Putusan tersebut menyebabkan badan hukum pendidikan bukan merupakan salah satu jenis badan hukum dan badan hukum berbentuk Badan Hukum Pendidikan dilarang di Indonesia. Berhubung Badan Hukum Pendidikan yang merupakan bentuk puncak otonomi perguruan tinggi dilarang, maka otonomi perguruan tinggi yang diperintahkan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (6) UU Sisdiknas harus diwujudkan dengan cara pendelegasian wewenang kepada perguruan tinggi. Kondisi ini memerlukan ketentuan peralihan yang jelas dan cermat, berhubung putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dapat diubah tersebut telah mengubah teori tentang badan hukum dalam Hukum Keperdataan. Di dalam Bab ini akan diatur pemaknaan baru badan hukum pendidikan sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu dari badan hukum pendidikan sebagai suatu bentuk badan menjadi badan hukum pendidikan sebagai fungsi penyelenggaraan pendidikan.
Selain itu, akan diatur tentang masa peralihan yang diberikan kepada perguruan tinggi negeri dan badan hukum milik negara ke pemaknaan baru badan hukum pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas.
2.10 Ketentuan Penutup Di dalam Bab ini akan diatur tentang saat berlakunya Undang-Undang Perguruan Tinggi, serta perintah untuk mengumumkannya pada Lembaran Negara.
********
Halaman| 32
Versi 8 Desember 2010
Bab IV Penutup
1. Kesimpulan 1.1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret
2010 tidak saja menyatakan bahwa UU No. 9 Tahun 2010 tentang Badan Hukum Pendidikan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun juga menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal yang terakhir menyebabkan kemandirian perguruan tinggi badan hukum milik negara, khususnya dalam pengelolaan keuangan, telah kehilangan dasar hukum;
1.2. Putusan tersebut juga telah meniadakan upaya Pemerintah untuk memenuhi Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (6) serta Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas yang memerintahkan agar perguruan tinggi memiliki otonomi perguruan tinggi melalui pembentukan badan hukum pendidikan. Agar sebuat entitas memiliki otonomi, maka menurut teori tentang badan hukum entitas tersebut harus diberi status sebagai badan hukum, dengan ciri: a. memiliki tujuan sendiri yang berbeda dengan tujuan pendirinya; b. memiliki kepentingan sendiri yang berbeda dengan kepentingan pendirinya; c. memiliki organisasi yang terpisah dengan organisasi pendirinya; d. memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan pendirinya.
1.3. Untuk memenuhi perintah UU Sisdiknas dan memulihkan kondisi perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi yang telah memiliki kemandirian, yang telah berhasil diwujudkan selama hampir satu dasawarsa, maka perlu ditetapkan kembali undang-undang yang mampu mewujudkan kemandirian perguruan tinggi.
2. Saran Mengingat kebutuhan dan strategisnya perwujudan perguruan tinggi yang mandiri untuk
kemajuan bangsa dan negara serta kemaslahatan masyarakat Indonesia, maka percepatan pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah merupakan keniscayaan.
********
Halaman| 33
Versi 8 Desember 2010
Lampiran:
Konsep Awal Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi
Halaman| 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar